Powered By Blogger

Senin, 07 Januari 2013

uas


1. Jelaskan proses pembentukan nata (nata de coco dan nata de soya)!
Sel – sel Acetobacter xylinum mengambil glukosa dari larutan gula yang kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel, kemudian keluar bersama dengan enzim yang akan mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa di luar sel. Prekursor dari polisakarida tersebut adalah GDP-glukosa. Pembentukan prekursor ini distimulir dari adanya katalisator Ca2+, Mg2+. Prekursor ini kemudian mengalami polimerisasi dan berikatan dengan aseptor membentuk selulosa (Anonymousa, 2008).
Bibit nata adalah golongan bakteri dengan nama Acetobacter xylinum. Bakteri ini termasuk dalam kelompok bakteri yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sehingga menhasilkan produk yang bermanfaat. Bakteri ini akan dapat membentuk nata apabila ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan sumber Karbon ( C ) dan Nitrogen ( N ) melalui proses terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Dari jutaan bakteri yang tumbuh dalam air kelapa tersebut akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya tampak padat, berwarna putih hingga transparan yang disebut sebagai nata (Anonymousa, 2008).
Nata yang dihasilkan dapat beragam kualitasnya. Hal ini tergantung pada air kelapa yang digunakn dan prosesnya. Air kelapa harus memenuhi standar kualitas bahan nata dan prosesnya dikendalikan dengan cara yang benar berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum. Jika rasio antara karbon dan nitrogen daiatur secara optimal dan prosesnya terkontrol dengan baik, maka semua cairan akan berubah menjadi nata tanpa meninggalkan residu sedikitpun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari Acetobacter xylinum diantaranya adalah nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, tingkat keasaman media, temperatur dan udara ( oksigen ). Senyawa karbon yang dibutuhkan dalam fermentasi nata berasal dari monosakarida dan disakarida. Sumber dari karbon yang paling banyak digunakan adalah gula. Sedangkan sumber nitrogen dapat berasal dari bahan organik seperti ZA dan urea. Meskipun bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 – 7,5, namun bakteri ini akan dapat tumbuh optimal pada pH 4,3. Suhu yang ideal untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pada suhu 28 – 310C. Bakteri ini sangat memerlukan oksigen, sehingga dalam proses fermentasi tidak perlu ditutup rapat, tetapi hanya ditutup agar mencegah kotoran masuk ke dalam media yang dapat mengakibatkan kontaminasi (Anonymousc, 2010).
2. apa yang terjadi jika dalam proses pembentukan nata:
a. tanpa starter
Tidak akan terbentuk nata dan benang benang selulosa tidak akan dihasilkan dikarenakan tidak ada bakteri yang akan mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa.
b. konsentrasi starter berbeda-beda (10%, 20%, 30%)




3. Jelaskan proses pembentukan asam cuka dari apel. (proses fermentasinya)!
Fermentasi pada cuka apel dilakukan dengan 2 tahap yaitu, fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat (asetilasi). Pada fermentasi alkohol, beberapa mikroba mengalami peristiwa pembebasan energi karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat dan CO2 selanjutnya asam asetat diubah menjadi alkohol. Dalam fermentasi alkohol, satu molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP, jika dibandingkan dengan respirasi aerob, yang mampu menghasilkan 38 molekul ATP. Reaksinya:
1.         Gula (C6H12O6—> asam piruvat (glikolisis)
2.         Dekarboksilasi asam piruvat
Asam piruvat ——————————> asetaldehid + CO2.
                                                                piruvat dekarboksilase (CH3CHO)
3.         Asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase diubah menjadi alcohol (etanol).
2 CH3CHO + 2 NADH2  —————————>   2 C2H5OH + 2 NAD.
           alkohol dehidrogenase + enzim
Ringkasan reaksi :
C6H12O6 ———> 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 NADH2 + Energi
Pada fermentasi asam asetat, berlangsung dalam keadaan aerob. Fermentasi ini dilakukan oleh bakteri asam cuka (Acetobacter aceti) dengan substrat etanol. Energi yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh fermentasi alkohol secara anaerob. Jika diberikan oksigen yang cukup, bakteri-bakteri ini dapat memproduksi cuka dari bermacam-macam bahan makanan yang beralkohol. Bahan makanan yang biasa digunakan yaitu sari buah apel, anggur, biji-bijian fermentasi, malt, beras, atau bubur kentang. Reaksi:
                                                            aerob
C6H12O6 > 2 C2H5OH —————> 2 CH3COOH + H2O + 116 kal
          (glukosa)                              bakteri asam cuka             asam cuka
Bahan baku dalam proses fermentasi pembuatan asam asetat :
1.         Buah-buahan, kentang, biji-bijian, bahan yang mengandung cukup banyak gula, atau alkohol
2.         Bakteri asetat (Bacterium aceti) yaitu Acetobacter untuk proses aerob dan bakteri dari genus Clostridium
Bakteri yang berperan dalam proses fermentasi asam cuka adalah:
1.         Fermentasi aerob dibantu dengan bakteri Acetobacter aceti
2.         Fermentasi anaerob dibantu dengan bakteri Clostridium thermocetium

4. Jelaskan apa yang terjadi pada protein kacang kedelai dalam proses pembentukan tempe!
Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi dipengaruhi oleh suhu dan konsentari laru, semakin tinggi suhu  fermentasi semakin cepat pertumbuhan kapang namun apabila suhu fermentasi mencapai lebid dari 40 C akan menghambat pertumbuhan kapang. Mikroba membentuk energy yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan zat-zat gizi lainya yang ada dalam bahan pangan (substrat).
Dalam proses fermentasi dapat menyebabkan perubahan kimia protein karena adanya enzim proteolitik, menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam  amino. Sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5%, degradasi protein ini juga menyebabkan peningkatan PH. NIlai PH tempe yang baik berkisar antara  6,3-6,5.
Aktivitas protease terdeteksi setelah fermentasi 12 jam ketika pertumbuhan hifa kapang masih relatif sedikit. Hanya 5% dari hidrolisis protein yang digunakan sebagai sumber karbon dan energy . Sisanya terakumulasi dalam bentuk peptida dan asam amino. Asam amino mengalami perubahan dari 1,02 menjadi 50,95 setelah fermentasi 48jam.
Proses perendaman dan pemasakan juga mempengaruhi hilangnya protein, selama perendaman protein turun sebanyak 1,4%. Selama fermentasi protein kasar hanya sdikit yang berubah tetepi kelarutannya meningkat menjadi kira-kira 50% (jones 1975 dalam) .Suhu meningkat selama fermentasi dan akan akan menurun jika pertumbuhan jamur terhenti. PH meningkat, disebabkan oleh penurunan protein. Fermentasi  juga meningkatkan padatan terlarut, peningkatan total solid ternyata dapat meningkatkan daya cerna tempe dibandingkan kedelai rebus. Selama fermentasi terjadi peningkatan PH secara bertahap 5,0-7,5 disebabkan terbentuknya NH3 pada tahap fermentasi. Pada proses fermentasi tempe juga terjadi perubahan kimia lemak, kapang akan menguraikan sebagian besar lemak dalam kedelai selama fermentasi. Pembebasan asam lemak ditandai dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali sebelum fermentasi. Lemak dalam tempe tidak mengandung kolesterol, lemak dalam tempe juga tahan terhadap ketengikan karena adanya antioksidan alami yang dihasilakn oleh kapang. Adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein , lemak dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah  dicerna didalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai.

5. Apa saran anda agar kualitas dodol wortel yang anda peroleh dari hasil praktek mempunyai nilai yang baik?
Untuk penggunaan bahan baku santan saat proses pemasakan, sekiranya tidak digunakan berlebih agar dodol yang dihasilkan tidak berwarna pucat  dan cepat mengeras setelah beberapa saat. Dan jumlah takaran gula sebaiknya tidak terlalu banyak agar rasa manis yang dihasilkan, pas. Yang terakhir, suhu saat proses pemasakan, diusahakan tetap konstan dibawah 140◦ dikarenakan senyawa terpenoid carotol yang terkandung dalam wortel hanya tahan pada suhu 140◦.

COCO
I.            Reaksi Kimia
Reaksi yang terjadi :
·         Proses Fermentasi acetobacter Xylinum :


·         Pembentukan asam cuka oleh bakteri Acetobacter xylinum adalah sebagai berikut:
            

·         Glikolisis


II.          Pembahasan
Percobaan yang dilakukan adalah tentang nata de coco (pembuatan nata de coco). Bahan pokok pada percobaan ini adalah air kelapa. Air kelapa yang digunakan adalah air kelapa yang sudah tua (masak optimal). Bahan-bahan lain yang digunakan pada percobaan ini adalah bakteri Acetobacter xylinum, asam asetat, gula pasir dan ZA (urea).
Air kelapa cukup baik digunakan untuk substrat pembuatan Nata de Coco. Dalam air kelapa terdapat berbagai nutrisi yang bisa dimanfaatkan bakteri penghasil Nata de Coco. Nutrisi yang terkandung dalam air kelapa antara lain : gula sukrosa 1,28%, sumber mineral yang beragam antara lain Mg2+ 3,54 gr/l (Woodroof, 1972, Pracaya 1982), serta adanya faktor pendukung pertumbuhan (growth promoting factor) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri penghasil nata (Acetobacter xylinum) (Lapus et al., 1967). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk membentuk senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang membentuk Nata de Coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa.
Pada percobaan ini, air kelapa disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kain berbahan silk. Penyaringan ini bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang tidak diinginkan. Air kelapa ini kemudian dididihkan lalu ditambahkan gula pasir dan ZA (urea), air kelapa tersebut diaduk dan dibiarkan tetap mendidih ± 10 menit. Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de coco) yang akan dihasilkan. Penambahan gula pasir putih disini adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembangbiakannya. Fruktosa yang ada akan disintesis menjadi selulosa. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Meskipun pada air kelapa terdapat gula namun gula yang ada belum mencukupi untuk pembentukan pelikel sehingga perlu ditambahkan dari luar. Penambahan ZA pada pembuatan nata de coco ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
Selanjutnya campuran air kelapa yang sudah mendidih, dimasukkan kedalam wadah yang sudah disterilkan dengan cara direndam didalam air panas. Alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan bersih (steril). Apabila alat-alat yang digunakan tidak steril maka akan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada media air kelapa dan akan menyebabkan adanya jamur pada media air kelapa tersebut. Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan mendinginkan campuran air kelapa tersebut pada suhu kamar (dibiarkan dingin dengan sendiri). Pada pendinginan ini, disekitar wadah dinyalakan lilin pada tiap-tiap sudut. Hal ini bertujuan untuk inkubasi media air kelapa dari bakteri-bakteri lain yang mungkin akan masuk kedalam media. Setelah media air kelapa tersebut sudah benar-benar dingin, lalu ditambahkan dengan asam asetat sedikit demi sedikit sambil di ukur pH campuran air kelapa tersebut. Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glacial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi rendah dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pH 4,5 – 5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak.
Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan inokulasi atau menambahkan starter yang sudah berumur ±6hari kedalam wadah yang berisi campuran air kelapa. Bakteri yang dipindahkan ke media baru tersebut tidak langsung tumbuh melainkan beradaptasi terlebih dahulu. Fase pertumbuhan adaptasi dicapai pada 0-24 jam sejak inokulasi. Fase pertumbuhan awal dimulai dengan pembelahan sel dengan kecepatan rendah. Fase ini berlangsung beberapa jam saja. Fase eksponensial dicapai antara 1-5 hari. Pada fase ini bakteri mengeluarkan enzim ektraseluler polimerase sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa (matrik nata). Fase ini sangat menentukan kecepatan suatu strain Acetobacter xylinum dalam membentuk nata. Setelah inokulasi, maka nampan atau wadah tersebut ditutup rapat dengan menggunakan koran yang sudah disterilkan lalu di ikat dengan karet. Kemudian nampan tersebut di letakkan ditempat yang aman, supaya tidak digeser dan digoyang.
Nata yang dihasilkan tentunya bisa beragam kualitasnya. Kualitas yang baik akan terpenuhi apabila air kelapa yang digunakan memenuhi standar kualitas bahan nata, dan prosesnya dikendalikan dengan cara yang benar berdasarkan padafactor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas yang digunakan.Apabila rasio antara karbon dan nitrogen diatur secara optimal, dan prosesnyaterkontrol dengan baik, maka semua cairan akan berubah menjadi nata tanpameninggalkan residu sedikitpun.
Pada percobaan nata de coco yang pertama, kedua dan ketiga menunjukkan hasil yang gagal. Pada campuran air kelapa terdapat jamur yang berwarna orange muda. Kegagalan tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu alat-alat yang digunakan untuk pembuatan nata tersebut tidak bersih (tidak steril), pada saat praktikum, praktikan banyak berbincang-bincang sehingga menyebabkan bakteri yang keluar dari mulut masuk kedalam campuran air kelapa tersebut. Kegagalan tersebut mungkin juga dipengaruhi oleh tingkat keasaman campuran, jika medianya terlalu asam atau kurang asam, maka nata de coco tidak akan terbentuk.

III.         Kesimpulan
Setelah dilakukan percobaan tentang pembuatan nata de coco ini, dapat disimpulkan :
-          Penyaringan air kelapa bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang tidak diinginkan.
-          Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de coco) yang akan dihasilkan.
-          Penambahan gula pasir putih adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya.
-          Penambahan ZA pada pembuatan nata de coco ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
-          Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa.
SOYA
IV.         Pembahasan
Percobaan yang dilakukan adalah tentang nata de soya (pembuatan nata de soya). Bahan pokok pada percobaan ini adalah limbah tahu. Bahan-bahan lain yang digunakan pada percobaan ini adalah bakteri Acetobacter xylinum, asam asetat, gula pasir dan ZA (urea).
Air limbah tahu masih mengandung bahan-bahan organik seperti protein, lemak dan karbohidrat yang mudah busuk sehingga menimbulkan bau yang kurang sedap (Shurtleft dan Aoyogi, 1975). Jika ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbohidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran. Tetapi jika dimanfaatkan akan menguntungkan pengrajin tahu atau masyarakat yang berminat mengolahnya., serta adanya faktor pendukung pertumbuhan (growth promoting factor) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri penghasil nata (Acetobacter xylinum) (Lapus et al., 1967). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk membentuk senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang membentuk Nata de soya. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa.
Pada percobaan ini, limbah tahu disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kain berbahan silk. Penyaringan ini bertujuan untuk membebaskan limbah tahu dari kotoran - kotoran yang tidak diinginkan. Limbah tahu ini kemudian dididihkan lalu ditambahkan gula pasir dan ZA (urea), limbah tahu tersebut diaduk dan dibiarkan tetap mendidih ± 10 menit. Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de soya) yang akan dihasilkan. Penambahan gula pasir putih disini adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembangbiakannya. Fruktosa yang ada akan disintesis menjadi selulosa. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Penambahan ZA pada pembuatan nata de soya ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
Selanjutnya campuran limbah tahu yang sudah mendidih, dimasukkan kedalam wadah yang sudah disterilkan dengan cara direndam didalam air panas. Alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan bersih (steril). Apabila alat-alat yang digunakan tidak steril maka akan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada media limbah tahu dan akan menyebabkan adanya jamur pada media limbah tahu tersebut. Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan mendinginkan campuran limbah tahu tersebut pada suhu kamar (dibiarkan dingin dengan sendiri). Pada pendinginan ini, disekitar wadah dinyalakan lilin pada tiap-tiap sudut. Hal ini bertujuan untuk inkubasi media limbah tahu dari bakteri-bakteri lain yang mungkin akan masuk ke dalam media. Setelah media limbah tahu tersebut sudah benar-benar dingin, lalu ditambahkan dengan asam asetat sedikit demi sedikit sambil di ukur pH campuran air kelapa tersebut. Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman limbah tahu. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glacial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi rendah dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pH 4,5 – 5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak.
Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan inokulasi atau menambahkan starter yang sudah berumur ±3hari ke dalam wadah yang berisi campuran limbah tahu yang telah dingin. Bakteri yang dipindahkan ke media baru tersebut tidak langsung tumbuh melainkan beradaptasi terlebih dahulu. Fase pertumbuhan adaptasi dicapai pada 0-24 jam sejak inokulasi. Fase pertumbuhan awal dimulai dengan pembelahan sel dengan kecepatan rendah. Fase ini berlangsung beberapa jam saja. Fase eksponensial dicapai antara 1-5 hari. Pada fase ini bakteri mengeluarkan enzim ektraseluler polimerase sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa (matrik nata). Fase ini sangat menentukan kecepatan suatu strain Acetobacter xylinum dalam membentuk nata. Setelah inokulasi, maka nampan atau wadah tersebut ditutup rapat dengan menggunakan koran yang sudah disterilkan lalu di ikat dengan karet. Kemudian nampan tersebut di letakkan ditempat yang aman, supaya tidak digeser dan digoyang.
Nata yang dihasilkan tentunya bisa beragam kualitasnya. Kualitas yang baik akan terpenuhi apabila limbah tahu yang digunakan memenuhi standar kualitas bahan nata, dan prosesnya dikendalikan dengan cara yang benar berdasarkan pada faktor - faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas yang digunakan. Apabila rasio antara karbon dan nitrogen diatur secara optimal, dan prosesnya akan terkontrol dengan baik, maka semua cairan akan berubah menjadi nata tanpa meninggalkan residu sedikitpun.
Pada percobaan nata de soya yang pertama  dan kedua menunjukkan hasil yang gagal. Pada campuran limbah tahu terdapat jamur yang berwarna orange muda. Kegagalan tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu alat - alat yang digunakan untuk pembuatan nata tersebut tidak bersih (tidak steril), pada saat praktikum, praktikan banyak berbincang - bincang sehingga menyebabkan bakteri yang keluar dari mulut masuk ke dalam campuran limbah tahu tersebut. Kegagalan tersebut mungkin juga dipengaruhi oleh tingkat keasaman campuran, jika medianya terlalu asam atau kurang asam, maka nata de soya tidak akan terbentuk.


V.          Kesimpulan
Setelah dilakukan percobaan tentang pembuatan nata de coco ini, dapat disimpulkan :
-          Penyaringan limbah tahu bertujuan untuk membebaskan limbah tahu dari kotoran-kotoran yang tidak diinginkan.
-          Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de soya) yang akan dihasilkan.
-          Penambahan gula pasir putih adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya.
-          Penambahan ZA pada pembuatan nata de coco ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
-          Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa.
-          Penambahan soda kue bertujuan untuk membuat nata menjadi kenyal.

Air limbah tahu sebanyak 1 liter dan gula sebanyak 100 gram dipanaskan hingga gula larut dan kemudian di tambahkan dengan urea sebanyak 5 gram, ambilah kotoran-kotoran atau gelembung-gelembungnya. Setelah dipanaskan hingga mendidih selama 30 menit air limbah tahu dibiarkan dingin dan kemudian di tambahkan dengan asam asetat. Air limbah tahu yang telah siap di pindahkan ke dalam baki / kotak plastik steril, lalu ditambahkan stater kedalamnya secara pelan-pelan. Kemudian tutup dengan Koran yang sudah diopen hingga tidak ada lagi udara yang dapat masuk atau keluar, lalu didiamkan selama 2 minggu.
Simpan baki / kotak plastik  ditempat yang baik dengan sirkulasi udara yang bagus, suhu ruang berkisar 28 - 30 derajat Celsius. Setelah 1 – 2 minggu, air limbah tahu yang semula cair sekarang sudah menjadi padat (nata de soya) berupa lembaran. Setelah pemeraman selesai, nata dipanen, dicuci, dihilangkan asamnya dengan perebusan atau perendaman dalam air selama tiga kali (air  diganti tiap hari).
Nata kemudian dipotong-potong dan direbus kembali, ditiriskan. Perebusan selanjutnya dalam larutan gula 40% selama 30-45 menit. Dibiarkan semalam dalam larutan gula. Selanjutnya nata siap dikonsumsi.

DODOL
Dodol wortel merupakan upaya baru dalam proses pembaruan pangan. Pembuatan dodol wortel sama halnya dengan pembuatan dodol biasa dengan menggunakan penambahan tepung ketan, santan, gula dan lain –lain serta penambahan wortel. Dalam proses pengelolaan pembuatan dodol wortel dan dodol biasa tidak memiliki perbedaaan, dimana proses penting dalam pengelolaan dodol adalah karamelisasi dan gelatinisasi. Karemilisasi mengakibatkan dodol berwarna coklat hal ini di akibatkan karena terpecahnya molekul sukrosa menjadi fruktosa ( kehilangan molekul air ) dan glukosa akibatnya lama – kelamaan akan lebih kaku dan kecoklatan. Proses glatinisasi membuat tekstur dodol menjadi liat dan kenyal karena terjadinya peningkatan visiksikonitas di sebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum di panaskan, kini sudah berada dalam butir – butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi, sehingga terbentuklah dodol yang liat dan kenyal. 
Untuk dodol biasa dan dodol wortel aromanya  sama karena aroma wortel berasal dari senyawa terpenoid carotol yang hanya tahan pada suhu 140oC sementara suhu pemasakan dodol mencapai suhu 173oC – 180oC sehingga aroma wortel tidak ada lagi 


Walau demikian tetap ada perbedaan antara dodol wortel dan dodol biasa antara lain sebagai berikut :
1.        tekstur                                                                                                        
tekstur dodol biasa lebih liat dan lebih halus karena bahan pokoknya tepung ketan yang  strukturnya lebih halus. Selain itu karena tepung ketan lebih banyak mengandung amilopektim sehingga strukturnya lebih liat dan kenyal sedangkan dodol wortel perbandingan wortel dan ketan lebih banyak wortel yang kadar amilopektinya termasuk kecil, sehingga tekstur dodol wortel lebih lembut, kurang liat dan cendrung lebih kasar karena terdapat serat – serat dari wortel
2.        serat fiber                                                                                                   
dodol wortel dengan dodol biasa perbedaannya yaitu dodol wortel memiliki serat yang berasal dari dinding sel umbi wortel yang di tambahkan sedangkan dodol biasa tidak terdapat serat kasar.
3.        vitamin A
       dodol biasa tidak memiliki komposisi gizi mengandung vitamin A sedangkan dodol wortel terdapat vitamin A yang berasal dari beta karoten dan beta karoten tahan terhadap suhu panas 181oC                                    

Dodol wortel menggandung minyak yang berasal  dari santan maka tidak akan lengket namun dapat menimbulkan ketengian terjadi karena oksidasi lemak tak jenuh mmenjadi senyawa – senyawa aldehid dan asam lemak yang memiliki rantai karbon lebih pendek. Dodol wortel menggandung karbohidrat sehingga baik untuk pertumbuhan mikroba.
Pada lemak dan minyak terkandung enzim lifase, enzim lifase menghidrolisis lemak, memecahnya menjadi gliserol dan asam lemak
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgIQN8PglMnKkC2MiT3RVo5HorZuWJGW0wgg_QQ8bODayHjHT9EOYkmagNNaSryw3h7nYTV354tIAXqpRFmYxBYLj8SjhyMzlGiRV4BKeAE3BdQuTM8C4Iuet8VO7c3lL7SCQtu4NMYgIcp/s320/wortel.jpg



XI.               Kesimpulan
·         Dodol wortel merupakan upaya baru dalam proses pembaruan pangan
·         Dalam proses pengelolaan pembuatan dodol wortel dan dodol biasa tidak memiliki perbedaaan, dimana proses penting dalam pengelolaan dodol adalah karamelisasi dan gelatinisasi
·         Karemilisasi mengakibatkan dodol berwarna coklat hal ini di akibatkan karena terpecahnya molekul sukrosa menjadi fruktosa ( kehilangan molekul air ) dan glukosa akibatnya lama – kelamaan akan lebih kaku dan kecoklatan.
·         Proses glatinisasi membuat tekstur dodol menjadi liat dan kenyal karena terjadinya peningkatan visisikonitas di sebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum di panaskan
·         Dodol wortel menggandung minyak yang berasal  dari santan maka tidak akan lengket namun dapat menimbulkan ketengian terjadi karena oksidasi lemak tak jenuh mmenjadi senyawa – senyawa aldehid dan asam lemak yang memiliki rantai karbon lebih pendek.
VI.         PROSEDUR PERCOBAAN
·           Dodol wortel dengan menggunakan ekstrak wortel
1.    Menyiapkan 0,5 kg wortel yang telah dicuci.
2.    Mengambil ekstrak wortel dengan menggunakan alat juicer.
3.      Campur santan, gula dan garam dimasak sampai kental dalam wajan dan masukkan ekstrak wortel yang sudah dicampur tepung ketan dan vanili.
4.      Terus diaduk sampai kalis dan bolak-balik.
5.      Kemudian diangkat dan ditaruh di tempat cetakan dan setelah dingin dipotong-potong kemudian dikemas.
6.      Dodol siap disajikan.

·            Dodol wortel dengan menggunakan ekstrak dan ampas
1.      Sebanyak 0,5 kg wortel dicuci sampai bersih.
2.      Wortel diremdam air panas selama 15 menit, kemudian wortel diparut.
3.      Campur santan, gula dan garam dimasak sampai kental dalam wajan dan masukkan parutan wortel yang sudah dicampur tepung ketan dan vanili
4.      Terus diaduk sampai kalis dan bolak-balik.
5.      Kemudian diangkat dan ditaruh di tempat cetakan dan setelah dingin dipotong-potong kemudian dikemas.
6.      Dodol siap disajikan.

TAPE

 C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2+ 2ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai berikut:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) →Alkohol (etanol) +K arbon dioksida +Energi (ATP)
            Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang terlibat,tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awalrespirasi aerobik pada sebagian besar organism. Jalur terakhir akan bervariasi tergantung produk akhir yang dihasilkan.  Tahap akhir dari fermentasi adalah konversi piruvat ke produk fermentasi akhir .  Tahap ini tidak menghasilkan energi tetapi sangat penting bagi sel anaerobik karena tahapini meregenerasi. nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+), yang diperlukan untuk glikolisis.Ia diperlukan untuk fungsi sel normal karena glikolisis merupakan satu-satunyasumber ATP dalam kondisi anaerobik .
IX.  PEMBAHASAN
Setelah melakukan penelitian selama 3 hari tentang pembuatan tape ketan, kami dapat membahas bagaimana tape ketan dibuat, memaparkan faktor-faktor yang terlibat dalam pembuatan ataupun dalam proses fermentasi tape. Tape ketan ini merupakan suatau bioteknologi yang dikategorikan ke dalam bioteknologi tradisional /konvensional.
Hasil dari tape yang kami coba ternyata ketan tersebut menjadi terasa manis dan agak terasa bau alkohol,setelah kami meneliti dan membaca dari berbagai sumber ternyata pada tape ketan itu terjadi proses fermentasi yang menyebabkan ketan menjadi bau alkohol dan terasa manis.
Adapun reaksi yang terjadi dalam proses fermentasi tape yaitu :
2(C6H10O5)n + nH2O —-> n C12H22O11
Amilum/patiamilase matosa
C12H22O11 H2—-> 2(C6H10O5)
Maltosa maltase glukosa
C6H12O6 —-> 2C2H5OH + CO2
glukosa alcohol
Bahan baku dari pembuatan tape adalah beras ketan atau bisa digunakan juga umbi kayu (singkong).Tape ketan dibuat dengan proses fermentasi yang dibantu oleh ragi atau (bakteri saccharomyces cerivisiae) bakteri ini dapat merubah karbohidrat menjadi alkohol, dan karbon dioksida.
Dalam fermentasi tape ketan terlibat beberapa mikro organisme yang disebut dengan mikrobia perombak pati menjdi gula yang menjadikan tape pada awal fermentasi terasa manis.yang menyebabkan tape ketan berubah menjadi alkohol karena adanya bakteri actobakter aceti (mengubah alcohol menjadi asam asetat).
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan pembuatan tape ketan ini dapat berlangsung tidak sempurna salah satu penyebabnya adalah peralatan yang kurang higienis dan ragi yang sudah lama (sudah kadaluarsa).dan dapat disebabkan juga oleh pencucian beras atau singkong yang tidak bersih sehingga fermentasi tdak sempurna.pada penelitian ini pula kelompok kami belum sempurna dikarenakan nasi ketan yang kami buat masih belum matang.Tapi,tape tersebut masih bisa di konsumsi dan masih terasa manis.
Pembuatan tape ini berlangsung selama dua sampai tiga hari,dalam kurun tiga hari itu tape masih bisa masih bisa dimakan karena tape belum berubah menjadi alcohol,tapi jika tape sudah lebih dari tiga hari tape tidak bisa dimakan(dikonsumsi) karena sudah berubah menjadi alcohol selain itu juga tape tersebut sudah membusuk.
Factor yang sering menyebabkan gagalnya pembuatan tape adalah :
1.      Kurang lunaknya singkong dalam perebusan
2.      Suhu pada proses penyimpanan kurang optimum
3.      Tidak higienisnya pada proses pembuatan
4.      Tidak seimbangnya jumlah ragi dengan jumlah singkong
5.      Kegagalan dalam pembuatan tape biasanya dikarenakan enzim pada ragi  Saccharomyces cereviceae  tidak pecah apabila terdapat udara yang mengganggu proses pemecahan enzim tersebut.

Menurut Gandjar, (2003) Proses pembuatan Tape setelah melakukan penelitian selama tiga hari, tentang pemanfaatan bioteknologi khususnya yaitu pembuatan tapei mengunakan ragi,. Proses pembuatan tape singkong sebagai berikut:

1 Penyiapan Bahan Baku
            Seleksi singkong yang kualitasnya bagus, untuk singkong umur optimumnya adalah 10 bulan jika lebih dari 12 bulan akan banyak seratnya. Singkong yang digunakan untuk pembuatan tape harus singkong yang baru dipanen karena singkong yang telah disimpan memberikan kualitas yang tidak diharapkan.

2 Pemasakan dan Pendinginan
                        Pemasakan menentukan tekstur dan penampakan produk olahan tape yang akan dihasilkan. Pengukusan singkong hingga matang akan menghasilkan tekstur tapai yang lebih lembut dibandingkan dengan pengukusan singkong yang setengah matang akan menghasilkan tekstur tapei yang lebih keras.

            Pendinginan berfungsi untuk mengontrol kondisi proses. Pemasakan yang kurang akan merusak kehidupan organisme dari inokulum yang diberikan. Sementara, pendinginan yang terlalu lama akan menyebabkan kontaminasi. Pengukusan singkong dilakukan dalam waktu 0,5 jam untuk melunakkan singkong dan agar enzim mikrobdapat bekerja dengan baik.

3 Peragian


            Proses peragian bergantung dengan cara pencampuran singkong dengan ragi. Apabila pencampuran tidak baik akan menyebabkan fermentasi kurang sempurna dan menimbulkan kerusakan. Ragi yang ditambahkan biasanya kurang dari 1% atau 10 gram perkilogram singkong yang digunakan.

4 Fermentasi dan Penyimpana

            Fermentasi yang baik dilakukan pada suhu 28-30˚C dan membutuhkan waktu 45 jam. Fermentasi dilakukan di dalam keranjang yang dialasi daun pisang yang bersih, dikerudungi dan ditutupi dengan daun rapat-rapat. Fermentasi yang tertutup akan mencegah tejadinya kontaminasi.
            Suhu berpengaruh kepada kecepatan fermentasi, meskipun suhu yang lebih rendah dari 25˚C akan menghasilkan produk dengan kadar alcohol yang tinggi pada fermentasi 144 jam. Tapai dapat bertahan 2 – 3 hari bila di fermentasi pada suhu kamar. Apabila fermentasi dalam suhu kamar melebihi hasil yang didapatkan akan rusak. Bila dikemas dengan cangkir plastic dan disimpan dalam lemari es akan bertahan selama 2 bulan akan tetapi teksturnya akan rusak yaitu menjadi keras. 



X. KESIMPULAN
1.      Pembuatan tape termasuk dalam bioteknologi konvensional (tradisional) karena masih menggunakan cara-cara yang  terbatas.
2.      Pada proses pembuatan tape, jamur ragi akan memakan glukosa yang ada di dalam singkong sebagai makanan untuk pertumbuhannya, sehingga singkong akan menjadi lunak, jamur tersebut akan merubah glukosa  menjadi alkohol.
3.      Dalam pembuatan tape, ragi (Saccharomyces cereviceae) mengeluarkan enzim yang dapat memecah karbohidrat pada singkong menjadi gula yang lebih sederhana. Oleh karena itu, tape terasa manis apabila sudah matang walaupun tanpa diberi gula sebelumnya.
4.      Kegagalan dalam pembuatan tape biasanya dikarenakan enzim pada ragi  Saccharomyces cereviceae  tidak pecah apabila terdapat udara yang mengganggu proses pemecahan enzim tersebut.
SAOS
I.      
Untuk pembuatan saos papaya dan sambal papaya digunakan jenis papaya yang berbeda. Pepaya yang berwarna merah untuk saos dan papaya yang berwarna kuning untuk sambal. Ini bermaksud untuk membedakan warna antara saos dan sambal yang seharusnya memang berwarna lebih pekat untuk saos. Penggunaan cabai juga dibedakan untuk memberikan rasa pedas yang berbeda pada saos dan sambal. Untuk saos menggunakan cabai tanpa biji dan sambal menggunakan cabai dengan bijinya. Jenis papaya yang baik akan mempengaruhi hasil saos dan sambal yang diddapat. Maka harus menggunakan papaya yang bagus (tidak cacat) dan yang telah matang. Dan pada percobaan kami, tidak menggunakan pewarna buatan agar menghasilkan saos dan sambal yang alami.
Pepaya yang digunakan harus dihancurkan sehalus mungkin agar mendapatkan tekstur yang halus layaknya saos dan sambal yang terdapat di pasaran. Dilakukan penyaringan menggunakan kain juga berguna untuk memisahkan papaya dengan sari yang terkadung didalamnya sehingga papaya yang digunakan benar-benar bebas dari sari buah papaya. Bila pepaya tidak benar benar kering, maka dapat menyebabkan saos dan sambal yang dihasilkan berbau tengik dan berbau mentah.  Digunakan jeruk nipis yang berguna untuk menghilangkan aroma pepaya pada saos dan sambal. Proses ini dilakukan pada saat pemanasan pepaya terjadi. Dan untuk pemanasannya tidak dilakukan terlalu lama agar saos dan sambal yang dihasilkan tetap kental dan tidak kering.
Dalam pembuatannya, harus dilakukan dalam kondisi yang steril, mulai dari pengupasan buah, penghalusan, penyaringan, pemanasan, penambahan bumbu, hingga pengemasan kedalam botol. Hal ini bertujuan agar saos dan sambal yang dihasilkan tidak terkontaminasi oleh bakteri atau kotoran yang dapat menurunkan kualitas saos dan sambal.
Setelah saos dan sambal disimpan beberapa hari, akan terjadi peningkatan viskositas. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh adanya penurunan suhu dari suhu pemasakan hingga suhu penyimpanan. Molekul-molekul amilosa akan berikatan kembali satu sama lain dan berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggiran granula, sehingga membentuk konsistensi yang lebih padat dan kekentalannya meningkat. Air yang berada diluar granula akan mengalami gelatinisasi dan bila disimpan berhari-hari, air tersebut akan keluar dan menyebabkan menurunnya kekentalan bahan.


II.     Kesimpulan                :
1.      Proses pembuatan saos dan sambal pepaya : pemilihan bahan, penghalusan, penyaringan, pemanasan, penambahan bumbu, pengemasan
2.      Pepaya untuk saos menggunakan pepaya berwarna merah dan untuk sambal pepaya berwarna kuning
3.      Seluruh proses pembuatan saos dan sambal pepaya harus dilakukan secara steril
4.      Penyimpanan selama beberapa hari akan menyebabkan keluarnya air yang terkandung dalam saos dan sambal dan akan menurunkan kekentalan bahan.
CUKA APEL

Cuka apel merupakan salah satu produk olahan apel yang dihasilkan dengan jalan fermentasi. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanolasam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan asetonRagi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam biranggur dan minuman beralkohol lainnya. Respirasi anaerobik dalam otot mamalia selama kerja yang keras (yang tidak memiliki akseptor elektron eksternal), dapat dikategorikan sebagai bentuk fermentasi.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan. Persamaan reaksi kimianya:
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) → Alkohol (etanol) + Karbon dioksida +                                                                       Energi (ATP)
Fermentasi pada cuka apel dilakukan dengan 2 tahap yaitu, fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat (asetilasi). Pada fermentasi alkohol, beberapa mikroba mengalami peristiwa pembebasan energi karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat dan CO2 selanjutnya asam asetat diubah menjadi alkohol. Dalam fermentasi alkohol, satu molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP, jika dibandingkan dengan respirasi aerob, yang mampu menghasilkan 38 molekul ATP. Reaksinya:
1.         Gula (C6H12O6—> asam piruvat (glikolisis)
2.         Dekarboksilasi asam piruvat
Asam piruvat ——————————> asetaldehid + CO2.
                                                                piruvat dekarboksilase (CH3CHO)
3.         Asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase diubah menjadi alcohol (etanol).
2 CH3CHO + 2 NADH2  —————————>   2 C2H5OH + 2 NAD.
           alkohol dehidrogenase + enzim
Ringkasan reaksi :
C6H12O6 ———> 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 NADH2 + Energi
Pada fermentasi asam asetat, berlangsung dalam keadaan aerob. Fermentasi ini dilakukan oleh bakteri asam cuka (Acetobacter aceti) dengan substrat etanol. Energi yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh fermentasi alkohol secara anaerob. Jika diberikan oksigen yang cukup, bakteri-bakteri ini dapat memproduksi cuka dari bermacam-macam bahan makanan yang beralkohol. Bahan makanan yang biasa digunakan yaitu sari buah apel, anggur, biji-bijian fermentasi, malt, beras, atau bubur kentang. Reaksi:
                                                            aerob
C6H12O6 > 2 C2H5OH —————> 2 CH3COOH + H2O + 116 kal
          (glukosa)                              bakteri asam cuka             asam cuka

Pada percobaan kali ini kelompok kami mengamati peristiwa fermentasi yang digunakan untuk membuat cuka apel atau Apple CiderPemilihan buah apel untuk diolah menjadi cuka apel, lebih baik jenis apel yang berwarna hijau dan rasanya lebih asam. Hal ini agar rasa dan aroma khas buah apel lebih dominan sehingga tidak meninggalkan cita rasa buah apel aslinya. Ragi roti yang kita gunakan mengandung mikroorganisme agar proses fermentasi dapat terjadi. Mikroorganisme yang digunakan adalah  Saccharomyces Sp. Cuka apel ini dibuat dari sari buah apel yang ditambahkan dengan ragi roti. Sari buah apel disini dibuat dari buah apel yang diiris tipis-tipis yang kemudian diblender dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak 1000 mL yang kemudian dipanaskan.
Buah apel yang digunakan dipercobaan ini tidak dikupas terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena pada kulit apel banyak sekali terdapat senyawa-senyawa yang penting dan bergizi seperti karoten, pektin dan lain-lain. Proses perebusan apel dilakukan hingga mendidih, proses ini dilakukan untuk mengambil sari atau kandungan yang terdapat dalam buah apel sampai aroma khas dari buah apel dapat dirasakan oleh indra penciuman. Larutan ini harus sering diaduk agar lebih banyak sari apel yang terlarut.
Setelah itu apel dipisahkan dari larutannya, larutan yang masih panas didinginkan terlebih dahulu. Pendinginan ini bertujuan agar proses fermentasi dapat berlangsung, karena apabila masih panas, bakteri pada ragi akan mati dan asam yang diinginkan tidak terbentuk. Setelah dingin, larutan disaring agar sisa-sisa apel yang tidak berubah menjadi larutan dapat diambil. Proses penyaringan menggunakan kain saring dan didapat sari apel yang kita inginkan.
Sari apel dimasukkan ke dalam botol dan diberi ragi. Bakteri yang terdapat di ragi yaitu Saccharomyces cereviseae. Botol harus ditutup rapat agar proses fermentasi tidak terkontaminasi udara bebas atau zat lain pada lingkungan sekitar, karena proses ini merupakan proses anaerob (tidak memerlukan oksigen) yang menghasilkan gas CO2. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya gelembung-gelembung gas kecil yang merupakan gas COsetelah penambahan ragi roti pada larutan sari apel ini.
Setelah proses fermentasi selama 2 minggu di bagian atas larutan tampak terbentuk gelembung-gelembung gas yang merupakan gas CO2 yang menunjukkan terjadinya proses fermentasi. Setelah itu kami menambahkan sampel cuka apel guna memancing agar cuka apel yang terbentuk lebih banyak. Penambahan cuka apel dilakukan hingga didapat hasil yang optimal.
Penyajian apel dalam bentuk cuka berkaitan dengan pengoptimalan zat yang terkandung dalam buah apel. Melalui proses fermentasi, kandungan nutrisinya bertambah kaya, terutama enzim dan asam amino. Dalam pembuatan cuka apel ini, alat-alat yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu menggunakan air, selanjutnya disterilkan dengan cara pasteurisasi. Hal ini dilakukan agar larutan tidak mengandung mikroorganisme lain yang dapat mengganggu jalannya proses fermentasi dan bila ada salah satu yang tidak steril, maka proses fermentasi ini tidak akan berhasil.
I.             KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan yang telah dilakukan:
1.            Cuka apel adalah salah satu produk yang dihasilkan dari buah apel melalui proses fermentasi menggunakan Saccharomyses cerevisiae.
2.            Dalam proses pembuatan asam asetat dari apel ini melalui tahapan glukosa menjadi alkohol kemudian dikonversi menjadi asam asetat.
3.            Apel yang bagus untuk dibuat menjadi cuka apel adalah apel yang mengandung banyak kandungan glukosa atau yang mengandung banyak kandungan gula, misalnya apel Malang.
4.            Proses fermentasi pada percobaan ini harus terhindar dari lingkungan sekitar dan dengan suhu rendah/suhu kamar. Sehingga tidak akan mengganggu ataupun juga bisa membunuh bakteri pada ragi yang dapat menyebabkan proses fermentasi menjadi gagal.
5.            Fermentasi yang dilakukan termasuk dalam fermentasi anaerob karena setelah penambahan mikroba, cuka apel ditutup dengan rapat untuk mengkondisikan agar tidak ada oksigen.

TAPE BERAS MERAh
Pada percobaan pembuatan tape dengan menggunakan bahan baku beras merah. Untuk pembuatan tape beras merah diperlukan ragi sebagai bibit jamur.  Dalam pembuatan tape beras merah ini harus dimasak dahulu agar tape beras merah yang dihasilkan lembut. Kemudian beras merah juga harus dikukus dahulu sebelum dibubuhi ragi agar ragi dengan mudah meresap pada beras merah. Ragi (bibit jamur) ini akan memakan glukosa yang ada di dalam beras merah sebagai makanan untuk pertumbuhannya, sehingga beras merah akan menjadi lunak, jamur tersebut akan merubah glukosa  menjadi alkohol. Dalam pembuatan tape, ragi (Saccharomyces cereviceae) mengeluarkan enzim yang dapat memecah karbohidrat pada beras merah menjadi gula yang lebih sederhana. Oleh karena itu, tape terasa manis apabila sudah matang walaupun tanpa diberi gula sebelumnya. Banyaknya ragi yang digunakan disesuaikan dengan jumlah beras merah . Jumlah ragi yang terlalu banyak akan mempercepat proses fermentasi dan menyebabkan tape yang terbentuk lembek. Sedangkan jumlah ragi yang terlalu sedikit dapat menyebabkan tape yang terbentuk tidak manis dan terasa keras. Dan inkubasi campuran dilakukan dengan menutup beras merah yang telah ditaburi ragi dengan menggunakan daun pisang dan diinkubasi pada suhu 25-30 °C selama 2-3 hari sehingga menghasilkan alkohol dan teksturnya lebih lembut.
Selain itu juga, dalam proses pembuatan tape ini ada hal-hal yang harus diperhatikan supaya proses fermentasi tersebut berlangsung secara sempurna. Selama proses fermentasi tidak memerlukan oksigen. Oleh karena itulah, proses fermentasi pada beras merah yang tertutup rapat lebih cepat. Lamanya proses fermentasi juga mempengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan.
Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak . Alat-alat yang berminyak   jika dipakai untuk mengolah bahan tape bisa menyebabkan kegagalan fermentasiAir yang digunakan juga harus bersih.


VII.      KESIMPULAN
·         Proses pembuatan tape beras merah melibatkan proses fermentasi yang dilakukan oleh jamur  Saccharomyces cerivisiae .
·         Pada proses pembuatan tape beras merah, jamur ragi akan memakan glukosa yang ada di dalam beras merah sebagai makanan untuk pertumbuhannya, sehingga singkong akan menjadi lunak, jamur tersebut akan merubah glukosa  menjadi alkohol.
·         Dalam pembuatan tape beras merah, ragi (Saccharomyces cereviceae) mengeluarkan enzim yang dapat memecah karbohidrat pada singkong menjadi gula yang lebih sederhana. Oleh karena itu, tape terasa manis apabila sudah matang walaupun tanpa diberi gula sebelumnya.
·         Kegagalan dalam pembuatan tape biasanya dikarenakan enzim pada ragi  Saccharomyces cereviceae  tidak pecah apabila terdapat udara yang mengganggu proses pemecahan enzim tersebut.
·         Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. 

1.      TEMPE
Kedelai kupas basah
a.       Rendam kedelai dalam air mendidih selama 1 malam
b.      Cuci dan buang bagian kedelai yang mengambang, kemudian remas-remas sehingga kulitnya terlepas dan keping bijinya terbelah. Sementara itu masak air hingga mendidih.
c.       Kukus kedelai yang sudah bersih dalam dandang yang airnya sudah mendidih selama 30 menit
d.      Keluarkan isi kedelai dari dalam dandang, tiriskan dalam kalo, lalu taburkan dalam tampah sehingga dingin
e.       Selama menunggu kedelai dingin, siapkan kantong plastik dan daun pisang sebagai pembungkus. Lakukan penusukan pada kantong plastik dengan jarak 3 cm secara vertikal dan horizontal.
f.       Campurkan inokulum (ragi tempe) dengan kedelai matang yang sudah dingin secara merata. Usahakan proses pencampuran tidak dilakukan dengan tangan.
g.      Masukan bakal tempe kedalam masing-masing pembungkus. Untuk kantong plastic isi kira-kira setengahnya, lalu ujungnya direkatkan dengan penutup plastic (sealer). Untuk daun pisang lipat sedemikian rupa sehingga berupa bungkusan.
h.      Fermentasikan bakal tempe tersebut kira-kira 36-48 jam pada rak-rak yang kemudian ditutup dengan karung goni atau langsung masukan dalam laci-laci.
2.      Kedelai kupas kering
a.       Kupas kedelai yang masih kering (kadar air 12-13%) dengan alat pengupas kulit yang sekaligus kulit arinya bisa terbuang
b.      Cuci kedelai untuk membersihkan kotoran yang masih terdapat di kedelai
c.       Rendam kedelai selama 12 jam dengan pH akhir 3-5 (bisa ditambahkan asam cuka)
d.      Lakukan pencucian kembali yang diikuti dengan pengupasan kulit ari pada kedelai yang belum terkupas dan pencucian dilakukan sampai air cucian bening
e.       Kedelai direbus sampai matang (2 jam)
f.       Kedelai yang sudah direbus diangkat dan diriskan sambil dikeringanginkan sampai benar-benar tiris. Pendinginan kedelai dilakukan dengan cara dihamparkan diatas tampah besar
g.      Setelah kedelai benar-benar tiris, inokulasikan dengan pemberian ragi tempe, untuk setiap 1 kg kedelai memerlukan 1 sendok teh ragi tempe. Ragi diratakan pada kedelai sampai benar-benar rata.
h.      Kedelai yang sudah tercampur ragi selanjutnya dikemas dalam kantong plastik atau daun yang telah ditusuk-tusuk dengan lidi. Diameter 1 mm dan jarak antar lubang 2 x 2 cm
i.        Setelah selesai dikemas dilanjutkan dengan fermentasi (pemeraman) pada suhu kamar Selama 36-48 jam
VI. Diagram Alir

VII. Hasil Pengamata

No
Parameter
Perlakuan Jenis Kemasan
Plastik
Daun pisang
1
Warna
Putih
2
Bau
Khas Tempe
3
Tekstur
Keras
4
Rasa
Rasa Kedelai
5
Kenampakan
Tidak Buyar

VIII. Persamaan Reaksi
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2+ 2ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai berikut:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) →Alkohol (etanol) +K arbon dioksida +Energi (ATP)
IX. Pembahasan
Pada praktikum pembuatan tempe, sebelumnya  kedelai  direndam kemudian langsung dikupas kulit arinya. Pengupasan kulit ari perlu dilakukan karena dalam kuit ari tersebut mengandung senyawa anti jamur, Bentuk senyawa ini tidak disebutkan tetapu bersifta larut dalam air perendaman dan pemasakan, sehingga bila kedelai dikupas sebelun direbus maka kapang akan menghasilkan miselia yang baik dan bau yang disukai. Pada pengupasan kulit ari diusahakan keping biji kedelai terpisah karena penetrasi miselium kapang banyak banyak terjadi pada permukaan yang datar daripada lengkung.
Selanjutnya kedelai yang telah dicuci bersih dilakukan pengukusan  30 menit setelah air mendidih, yaitu sampai sampai ¾ matang. Pada pengukusan kedelai jangan telalu matang supaya tidak mudah busuk pada proses fermentasi. Dan jangan terlalu mentah biar tidak keras dan cepat ditumbuhi jamur. Kemudian kedelai ditiriskan dan diangin-anginkan biar kadar airnya turun karena dalam keadaan basah jamur tidak dapat menempel pada kedelai, akhirya kedelai tidak ditumbuhi miselia pada permukaan kedelai. Peniriasan dilakuakn agar kelebihan air dapat dihindari, jika air bebas yang tersedia terlalu banyak akan mendorong pertumbuhan bakteri namun bila terlalu sedikit dapat menyebabkan dihirasi pada permukaan kedelai sehingga menghambat pertumbuhan kapang. Sedangkan pendinginan dimaksudkan agar suhu kedelai turun sesuai suhu kamar karena bila suhu kedelai terlalu teinggi saat inokulasi maka pertumbuhan kapang akan terganggu. Setelah dingin dilakukan inokulasi yaitu pemberian jamur tempe sebanyak 2 gram/2 kg kedelai kering, jenis jamur tempe yang dipakai yaitu Rhizopus Oligosporus sehingga membentuk padatan kompak yang berwarna putih.Dalam proses inokulasi diperlukan tingkat kebersihan yang tinggi, karena pada tahp ini rentan sekali terjadi kontaminasi. Setelah merata kemudian dikemas pada kemasan plastic . Sebelumnya plastic yang digunakan untuk mengemas di beri lubang dengan ditusuk-tusuk menggunakan  jarum  jarak 3 cm secara vertiksl dan horizontal. Tujuannya agar ada udara yang masuk ke dalam selama proses fermentasi berlangsung, karena berdasarkan kebutuhan oksigenya fermentasi tempe termasuk tipe aerob yaitu fermentasi yang pada prosesnnya memerlukan oksigen, semua organism untuk hidupnya memerlukan sumber energy yang diperoleh dari hasil metebolisme bahan pangan dimana organism itu berada.Mikroorganisme adalah organism yang memerlikan energy tersebut. Bahan energy yang paling banyak digunakan mikroorganisme untuk tumbuh adalah glukosa dengan adanya oksigen maka organisme dapat menerima glukosa menghasikan karbondioksida dan sejumlah besar energy.  Syarat kemasan tempe anatara lain: dapat memberian cukup oksigen yang dibutuhkan kapang, dan dapat memungkinkan pengeluaran uap air, sehingga air tidak menempal pada kedelai yang dapat mendorong pertumbuhan bakteri kontaminan.
Kedelai yang telah di kemas langsung di fermentasi selama 2 hari, disimpan pada suhu kamar. Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe.  pada tahap fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak, protein dan senyawa- senyawalain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga mudah dimanfaatkan tubuh. Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus oligosporus (Karmini 1996, dalam Yaniex 2009). . Fermentasi dipengaruhi oleh suhu dan konsentari laru, semakin tinggi suhu  fermentasi semakin cepat pertumbuhan kapang namun apabila suhu fermentasi mencapai lebid dari 40 C akan menghambat pertumbuhan kapang.
      Faktor keberhasilan fermentasi sangat ditentukan oleh jenis bahan pangan (subsrat). Mikroba membentuk energy yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan zat-zat gizi lainya yang ada dalam bahan pangan (substrat). Demikian pula dengan macam mikrobanya, yang perlu dimiliki mikroba adalah harus mampu tumbuh pada substrat dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan mikroba harus mampu mengeluarkan enzim-enzim penting yang dapat melakukan perubahan yang dikehendaki secara kimiawi.
Jamur yang tumbuh pada biji kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim  yang mampu merombak senyawa organic kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga senyawa tersebut dapat dipergunakan oleh tubuh. Perubahan yang terjadi selama fermentasi yaitu fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikrobia penyebab fermentasi pada substrat organic yang sesuai, terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat pangan, sebagai akibat pemecahan kandungan-kandungan pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi tersebut terutama tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikrobia dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme tersebut. (winarno 1980, dalam Deliani 2008). Dalam proses fermentasi dapat menyebabkan perubahan kimia protein karena adanya enzim proteolitik, menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam  amino. Sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5%, degradasi protein ini juga menyebabkan peningkatan PH. NIlai PH tempe yang baik berkisar antara  6,3-6,5 (Nurhidayat dkk, 2006, dalam Deliani 2008). Kedelai yang telah terfermentasi menjadi tempe akan mudah dicerna karena banyak bahan yang mudah larut. Bau langunya juga hilang.
Aktivitas protease terdeteksi setelah fermentasi 12 jam ketika pertumbuhan hifa kapang masih relatif sedikit. Hanya 5% dari hidrolisis protein yang digunakan sebagai sumber karbon dan energy . Sisanya terakumulasi dalam bentuk peptida dan asam amino. Asam amino mengalami perubahan dari 1,02 menjadi 50,95 setelah fermentasi 48jam (Nurhidayat dkk, 2006 dalam Deliani 2008). Proses perendaman dan pemasakan juga mempengaruhi hilangnya protein, selama perendaman protein turun sebanyak 1,4%. Selama fermentasi protein kasar hanya sdikit yang berubah tetepi kelarutannya meningkat menjadi kira-kira 50% (jones 1975 dalam) .Suhu meningkat selama fermentasi dan akan akan menurun jika pertumbuhan jamur terhenti. PH meningkat, disebabkan oleh penurunan protein. Fermentasi  juga meningkatkan padatan terlarut, peningkatan total solid ternyata dapat meningkatkan daya cerna tempe dibandingkan kedelai rebus. Selama fermentasi terjadi peningkatan PH secara bertahap 5,0-7,5 disebabkan terbentuknya NH3 pada tahap fermentasi (Veen dan Schaefer 1950, dalam Deliani 2008). Pada proses fermentasi tempe juga terjadi perubahan kimia lemak, kapang akan menguraikan sebagian besar lemak dalam kedelai selama fermentasi. Pembebasan asam lemak ditandai dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali sebelum fermentasi. Lemak dalam tempe tidak mengandung kolesterol, lemak dalam tempe juga tahan terhadap ketengikan karena adanya antioksidan alami yang dihasilakn oleh kapang. Adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein , lemak dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah  dicerna didalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai.
Perubahan  kimia  yang  terjadi  pada  proses  pembuatan tempe  adalah  pada  saat  inkubasi.  Pada  saat  itu  terjadilah reaksi  fermentasi.  Proses  fermentasi  yang  dilakukan  oleh jamur  Rhizopus  sp  menghasilkan  energi.  Energi  tersebut sebagian ada yang dilepaskan oleh jamur Rhizopus sp sebagai energi  panas.  Energi  panas  itulah  yang  menyebabkan perubahan suhu selama proses inkubasi tempe. Selain  terjadi perubahan suhu, selama proses  inkubasi tempe  juga  terjadi  perubahan  warna,  dan  munculnya  titik-titik  air  yang  dapat  diamati  pada  permukaan  dalam  plastik pembungkus tempe. Pada  awal  pengamatan,  kedelai  pada  tempe  seperti berselimut  kapas  yang  putih.  Tetapi  dengan  bertambahnya masa  inkubasi, mulai muncul warna hitam pada permukaan tempe.  Perubahan  warna  ini  menunjukkan  adanya  reaksi kimia pada proses inkubasi. Jamur  Rhizopus  sp  tergolong  makhluk  hidup.  Oleh karena  itu  ia  juga melakukan respirasi. Respirasi merupakan reaksi  kimia  atau  perubahan  kimia.  Salah  satu  zat  yang dilepaskan dari peristiwa respirasi adalah gas karbondioksida dan  uap  air.  Uap  air  itulah  yang menyebabkan  permukaan dalam plastik pembungkus tempe basah oleh titik-titik air.
X. Kesimpulan
Setelah melakukan praktikun dapat disimpulkan bahwa pada proses pembuatan tempe dalam proses inokulasi diperlukan tingkat kebersihan yang tinggi, karena pada tahap ini rentan sekali terjadi kontaminasi. Faktor keberhasilan fermentasi sangat ditentukan oleh jenis bahan pangan (subsrat). Mikroba membentuk energy yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan zat-zat gizi lainya yang ada dalam bahan pangan (substrat). Demikian pula dengan macam mikrobanya, yang perlu dimiliki mikroba adalah harus mampu tumbuh pada substrat dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan mikroba harus mampu mengeluarkan enzim-enzim penting yang dapat melakukan perubahan yang dikehendaki secara kimiawi.

VCO
Pada percobaan kali ini kami melakukan pembuatan VCO dengan cara pemanasan bertingkat. Prinsip yang digunakan sama, yaitu pemanasan dengan api. Perbedaannya hanya terletak pada suhu yang digunakan. Apabila suhu yang digunakan dengan cara tradisional yaitu 100-110° C, maka suhu yang digunakan pada pemanasan bertingkat berkisar 60-75° C.Dengan pemanasan bertingkat ini mencegah rusaknya  protein, lemak, dan antioksidan yang akan rusak pada suhu sekitar 80°C. Dengan hilangnya zat-zat penting dalam VCO, di samping khasiatnya menurun juga daya simpannya tidak bisa bertahan lama. Berpatokan pada hal tersebut, maka pemasakan santan tidak boleh lebih dari suhu 80°C.
Sebelum proses pemanasan santan kelapa diberi enzim bromelin (perasan sari nanas), penambahan enzim ini digunakan untuk mengurangi bau kelapa pada vco yang akan terbentuk
Untuk menjaga agar suhu santan bisa konstan selama pemanasan, perlu dilakukan kontrol terhadap besar-kecilnya api dan lama pemanasan. Pada suhu 80°C, santan tidak sampai mendidih, tetapi air yang masih terkandung di dalam santan sedikit demi sedikit akan menguap. Setelah beberapa jam santan akan terpisah menjadi VCO yang berada di bagian atas dan blondo di bagian bawah. VCO yang terpisah kemudian diambil sedikit demi sedikit menggunakan sendok kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan kotoran-kotoran yang terbawa di VCO. 
VCO yang dihasilkan dengan cara pemanasan bertingkat akan memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan cara tradisional. Warnanya jauh lebih bening, seperti kristal. Kandungan asam lemaknya pun tidak banyak yang berubah karena proses pemanasan. Di samping itu, kandungan antioksidannya pun masih lengkap dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian, khasiat VCO akan lebih tinggi dan daya simpannya akan lebih lama, berkisar 10-12 tahun, tergantung dari cara pengemasan dan penyimpanan.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, bukan berarti pembuatan VCO dengan pemanasan bertingkat tanpa cacat. Cara ini dirasa kurang efisien, di samping juga kurang aplikatif di tingkat petani. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, sebagai berikut. 1) Membutuhkan waktu yang lama, berkisar 7-8 jam. Hal ini dikarenakan harus menjaga suhu santan agar tetap konstan. 2) Harus ditunggui sehingga membutuhkan luangan waktu yang cukup lama. Selama proses pemanasan, hams ada tenaga kerja yang bertugas mengukur suhu santan dan mematikan serta menghidupkan kompor. 3) Membutuhkan biaya tambahan, berupa bahan bakar minyak. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh oleh petani menjadi berkurang. 4) Membutuhkan termometer untuk mengukur suhu. Sementara kemungkinan petani masih merasa kesulitan dan kerepotan dalam penggunan termometer. 5) Karena masih memakai proses pemanasan (walaupun dengan suhu rendah), tetap saja ada kandungan asam lemak yang berkurang. Dengan demikian, khasiatnya sebagai obat bisa berkurang.
Dalam pembuatan VCO, 2 butir kelapa dikupas dan diambil daging buahnya. Buah ini kemudian diambil daging buahnya dan diparut sehingga menghasilkan kelapa parutan sebesar 0,5 kg. parutan kelapa tersebut dicampur dengan air sebesar  10 % bobotnya dan diperas sehingga didapatkan santan kental dengan bobot kurang lebih 400 ml. Santan kemudian dipanaskan selama 2-3 jam sehingga menghasilkan minyak VCO sebanyak 20 ml atau sebesar 0,02 kg.
Palungkun (1992) menyatakan bahwa cara pengolahan minyak dengan proses basah dapat menghasilkan 60-70% minyak yang terkandung dalam daging buahh kelapa. Pada pengolahan VCO ini hanya dihasilkan minyak sebesar 4 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya persentase pengolahan minyak antara lain metode yang digunakan masih konvensional, sehingga santan yang dihasilkan dari parutan kelapa tidak maksimal. Selain itu, kurangnya volume air yang ditambahkan mengakibatkan masih banyaknya kandungan minyak yang terdapat di dalam parutan.

IX. Kesimpulan
      Kelapa dapat diolah menjadi beberapa produk seperti minyak kelapa dan VCO. Saat pengolahan kelapa perlu diperhatikan beberapa hal seperti kematangan kelapa, volume air yang diberikan, dan ketepatan teknologi. Pada praktikum ini dari 2 butir kelapa dengan berat daging 0,5 kg hanya dapat menghasilkan 0,02 kg minyak kelapa murni (VCO). Jumlah VCO yang dihasilkan berbeda jauh dibandingkan dengan literatur yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya persentase pengolahan minyak antara lain metode yang digunakan masih konvensional, sehingga santan yang dihasilkan dari parutan kelapa tidak maksimal. Selain itu, kurangnya volume air yang ditambahkan mengakibatkan masih banyaknya kandungan minyak yang terdapat di dalam parutan
 1. Jelaskan proses pembentukan nata (nata de coco dan nata de soya)!
Sel – sel Acetobacter xylinum mengambil glukosa dari larutan gula yang kemudian digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor pada membran sel, kemudian keluar bersama dengan enzim yang akan mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa di luar sel. Prekursor dari polisakarida tersebut adalah GDP-glukosa. Pembentukan prekursor ini distimulir dari adanya katalisator Ca2+, Mg2+. Prekursor ini kemudian mengalami polimerisasi dan berikatan dengan aseptor membentuk selulosa (Anonymousa, 2008).
Bibit nata adalah golongan bakteri dengan nama Acetobacter xylinum. Bakteri ini termasuk dalam kelompok bakteri yang dapat dimanfaatkan oleh manusia sehingga menhasilkan produk yang bermanfaat. Bakteri ini akan dapat membentuk nata apabila ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan sumber Karbon ( C ) dan Nitrogen ( N ) melalui proses terkontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun zat gula menjadi ribuan rantai serat atau selulosa. Dari jutaan bakteri yang tumbuh dalam air kelapa tersebut akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya tampak padat, berwarna putih hingga transparan yang disebut sebagai nata (Anonymousa, 2008).
Nata yang dihasilkan dapat beragam kualitasnya. Hal ini tergantung pada air kelapa yang digunakn dan prosesnya. Air kelapa harus memenuhi standar kualitas bahan nata dan prosesnya dikendalikan dengan cara yang benar berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas Acetobacter xylinum. Jika rasio antara karbon dan nitrogen daiatur secara optimal dan prosesnya terkontrol dengan baik, maka semua cairan akan berubah menjadi nata tanpa meninggalkan residu sedikitpun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari Acetobacter xylinum diantaranya adalah nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, tingkat keasaman media, temperatur dan udara ( oksigen ). Senyawa karbon yang dibutuhkan dalam fermentasi nata berasal dari monosakarida dan disakarida. Sumber dari karbon yang paling banyak digunakan adalah gula. Sedangkan sumber nitrogen dapat berasal dari bahan organik seperti ZA dan urea. Meskipun bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 – 7,5, namun bakteri ini akan dapat tumbuh optimal pada pH 4,3. Suhu yang ideal untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah pada suhu 28 – 310C. Bakteri ini sangat memerlukan oksigen, sehingga dalam proses fermentasi tidak perlu ditutup rapat, tetapi hanya ditutup agar mencegah kotoran masuk ke dalam media yang dapat mengakibatkan kontaminasi (Anonymousc, 2010).
2. apa yang terjadi jika dalam proses pembentukan nata:
a. tanpa starter
Tidak akan terbentuk nata dan benang benang selulosa tidak akan dihasilkan dikarenakan tidak ada bakteri yang akan mempolimerisasi glukosa menjadi selulosa.
b. konsentrasi starter berbeda-beda (10%, 20%, 30%)




3. Jelaskan proses pembentukan asam cuka dari apel. (proses fermentasinya)!
Fermentasi pada cuka apel dilakukan dengan 2 tahap yaitu, fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat (asetilasi). Pada fermentasi alkohol, beberapa mikroba mengalami peristiwa pembebasan energi karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat dan CO2 selanjutnya asam asetat diubah menjadi alkohol. Dalam fermentasi alkohol, satu molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP, jika dibandingkan dengan respirasi aerob, yang mampu menghasilkan 38 molekul ATP. Reaksinya:
1.         Gula (C6H12O6—> asam piruvat (glikolisis)
2.         Dekarboksilasi asam piruvat
Asam piruvat ——————————> asetaldehid + CO2.
                                                                piruvat dekarboksilase (CH3CHO)
3.         Asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase diubah menjadi alcohol (etanol).
2 CH3CHO + 2 NADH2  —————————>   2 C2H5OH + 2 NAD.
           alkohol dehidrogenase + enzim
Ringkasan reaksi :
C6H12O6 ———> 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 NADH2 + Energi
Pada fermentasi asam asetat, berlangsung dalam keadaan aerob. Fermentasi ini dilakukan oleh bakteri asam cuka (Acetobacter aceti) dengan substrat etanol. Energi yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh fermentasi alkohol secara anaerob. Jika diberikan oksigen yang cukup, bakteri-bakteri ini dapat memproduksi cuka dari bermacam-macam bahan makanan yang beralkohol. Bahan makanan yang biasa digunakan yaitu sari buah apel, anggur, biji-bijian fermentasi, malt, beras, atau bubur kentang. Reaksi:
                                                            aerob
C6H12O6 > 2 C2H5OH —————> 2 CH3COOH + H2O + 116 kal
          (glukosa)                              bakteri asam cuka             asam cuka
Bahan baku dalam proses fermentasi pembuatan asam asetat :
1.         Buah-buahan, kentang, biji-bijian, bahan yang mengandung cukup banyak gula, atau alkohol
2.         Bakteri asetat (Bacterium aceti) yaitu Acetobacter untuk proses aerob dan bakteri dari genus Clostridium
Bakteri yang berperan dalam proses fermentasi asam cuka adalah:
1.         Fermentasi aerob dibantu dengan bakteri Acetobacter aceti
2.         Fermentasi anaerob dibantu dengan bakteri Clostridium thermocetium

4. Jelaskan apa yang terjadi pada protein kacang kedelai dalam proses pembentukan tempe!
Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi dipengaruhi oleh suhu dan konsentari laru, semakin tinggi suhu  fermentasi semakin cepat pertumbuhan kapang namun apabila suhu fermentasi mencapai lebid dari 40 C akan menghambat pertumbuhan kapang. Mikroba membentuk energy yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan zat-zat gizi lainya yang ada dalam bahan pangan (substrat).
Dalam proses fermentasi dapat menyebabkan perubahan kimia protein karena adanya enzim proteolitik, menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam  amino. Sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5%, degradasi protein ini juga menyebabkan peningkatan PH. NIlai PH tempe yang baik berkisar antara  6,3-6,5.
Aktivitas protease terdeteksi setelah fermentasi 12 jam ketika pertumbuhan hifa kapang masih relatif sedikit. Hanya 5% dari hidrolisis protein yang digunakan sebagai sumber karbon dan energy . Sisanya terakumulasi dalam bentuk peptida dan asam amino. Asam amino mengalami perubahan dari 1,02 menjadi 50,95 setelah fermentasi 48jam.
Proses perendaman dan pemasakan juga mempengaruhi hilangnya protein, selama perendaman protein turun sebanyak 1,4%. Selama fermentasi protein kasar hanya sdikit yang berubah tetepi kelarutannya meningkat menjadi kira-kira 50% (jones 1975 dalam) .Suhu meningkat selama fermentasi dan akan akan menurun jika pertumbuhan jamur terhenti. PH meningkat, disebabkan oleh penurunan protein. Fermentasi  juga meningkatkan padatan terlarut, peningkatan total solid ternyata dapat meningkatkan daya cerna tempe dibandingkan kedelai rebus. Selama fermentasi terjadi peningkatan PH secara bertahap 5,0-7,5 disebabkan terbentuknya NH3 pada tahap fermentasi. Pada proses fermentasi tempe juga terjadi perubahan kimia lemak, kapang akan menguraikan sebagian besar lemak dalam kedelai selama fermentasi. Pembebasan asam lemak ditandai dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali sebelum fermentasi. Lemak dalam tempe tidak mengandung kolesterol, lemak dalam tempe juga tahan terhadap ketengikan karena adanya antioksidan alami yang dihasilakn oleh kapang. Adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein , lemak dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah  dicerna didalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai.

5. Apa saran anda agar kualitas dodol wortel yang anda peroleh dari hasil praktek mempunyai nilai yang baik?
Untuk penggunaan bahan baku santan saat proses pemasakan, sekiranya tidak digunakan berlebih agar dodol yang dihasilkan tidak berwarna pucat  dan cepat mengeras setelah beberapa saat. Dan jumlah takaran gula sebaiknya tidak terlalu banyak agar rasa manis yang dihasilkan, pas. Yang terakhir, suhu saat proses pemasakan, diusahakan tetap konstan dibawah 140◦ dikarenakan senyawa terpenoid carotol yang terkandung dalam wortel hanya tahan pada suhu 140◦.

COCO
I.            Reaksi Kimia
Reaksi yang terjadi :
·         Proses Fermentasi acetobacter Xylinum :


·         Pembentukan asam cuka oleh bakteri Acetobacter xylinum adalah sebagai berikut:
            

·         Glikolisis
Description: Description: glycolysis56.jpg


II.          Pembahasan
Percobaan yang dilakukan adalah tentang nata de coco (pembuatan nata de coco). Bahan pokok pada percobaan ini adalah air kelapa. Air kelapa yang digunakan adalah air kelapa yang sudah tua (masak optimal). Bahan-bahan lain yang digunakan pada percobaan ini adalah bakteri Acetobacter xylinum, asam asetat, gula pasir dan ZA (urea).
Air kelapa cukup baik digunakan untuk substrat pembuatan Nata de Coco. Dalam air kelapa terdapat berbagai nutrisi yang bisa dimanfaatkan bakteri penghasil Nata de Coco. Nutrisi yang terkandung dalam air kelapa antara lain : gula sukrosa 1,28%, sumber mineral yang beragam antara lain Mg2+ 3,54 gr/l (Woodroof, 1972, Pracaya 1982), serta adanya faktor pendukung pertumbuhan (growth promoting factor) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri penghasil nata (Acetobacter xylinum) (Lapus et al., 1967). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk membentuk senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang membentuk Nata de Coco. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa.
Pada percobaan ini, air kelapa disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kain berbahan silk. Penyaringan ini bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang tidak diinginkan. Air kelapa ini kemudian dididihkan lalu ditambahkan gula pasir dan ZA (urea), air kelapa tersebut diaduk dan dibiarkan tetap mendidih ± 10 menit. Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de coco) yang akan dihasilkan. Penambahan gula pasir putih disini adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembangbiakannya. Fruktosa yang ada akan disintesis menjadi selulosa. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Meskipun pada air kelapa terdapat gula namun gula yang ada belum mencukupi untuk pembentukan pelikel sehingga perlu ditambahkan dari luar. Penambahan ZA pada pembuatan nata de coco ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
Selanjutnya campuran air kelapa yang sudah mendidih, dimasukkan kedalam wadah yang sudah disterilkan dengan cara direndam didalam air panas. Alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan bersih (steril). Apabila alat-alat yang digunakan tidak steril maka akan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada media air kelapa dan akan menyebabkan adanya jamur pada media air kelapa tersebut. Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan mendinginkan campuran air kelapa tersebut pada suhu kamar (dibiarkan dingin dengan sendiri). Pada pendinginan ini, disekitar wadah dinyalakan lilin pada tiap-tiap sudut. Hal ini bertujuan untuk inkubasi media air kelapa dari bakteri-bakteri lain yang mungkin akan masuk kedalam media. Setelah media air kelapa tersebut sudah benar-benar dingin, lalu ditambahkan dengan asam asetat sedikit demi sedikit sambil di ukur pH campuran air kelapa tersebut. Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glacial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi rendah dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pH 4,5 – 5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak.
Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan inokulasi atau menambahkan starter yang sudah berumur ±6hari kedalam wadah yang berisi campuran air kelapa. Bakteri yang dipindahkan ke media baru tersebut tidak langsung tumbuh melainkan beradaptasi terlebih dahulu. Fase pertumbuhan adaptasi dicapai pada 0-24 jam sejak inokulasi. Fase pertumbuhan awal dimulai dengan pembelahan sel dengan kecepatan rendah. Fase ini berlangsung beberapa jam saja. Fase eksponensial dicapai antara 1-5 hari. Pada fase ini bakteri mengeluarkan enzim ektraseluler polimerase sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa (matrik nata). Fase ini sangat menentukan kecepatan suatu strain Acetobacter xylinum dalam membentuk nata. Setelah inokulasi, maka nampan atau wadah tersebut ditutup rapat dengan menggunakan koran yang sudah disterilkan lalu di ikat dengan karet. Kemudian nampan tersebut di letakkan ditempat yang aman, supaya tidak digeser dan digoyang.
Nata yang dihasilkan tentunya bisa beragam kualitasnya. Kualitas yang baik akan terpenuhi apabila air kelapa yang digunakan memenuhi standar kualitas bahan nata, dan prosesnya dikendalikan dengan cara yang benar berdasarkan padafactor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas yang digunakan.Apabila rasio antara karbon dan nitrogen diatur secara optimal, dan prosesnyaterkontrol dengan baik, maka semua cairan akan berubah menjadi nata tanpameninggalkan residu sedikitpun.
Pada percobaan nata de coco yang pertama, kedua dan ketiga menunjukkan hasil yang gagal. Pada campuran air kelapa terdapat jamur yang berwarna orange muda. Kegagalan tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu alat-alat yang digunakan untuk pembuatan nata tersebut tidak bersih (tidak steril), pada saat praktikum, praktikan banyak berbincang-bincang sehingga menyebabkan bakteri yang keluar dari mulut masuk kedalam campuran air kelapa tersebut. Kegagalan tersebut mungkin juga dipengaruhi oleh tingkat keasaman campuran, jika medianya terlalu asam atau kurang asam, maka nata de coco tidak akan terbentuk.

III.         Kesimpulan
Setelah dilakukan percobaan tentang pembuatan nata de coco ini, dapat disimpulkan :
-          Penyaringan air kelapa bertujuan untuk membebaskan air kelapa dari kotoran-kotoran yang tidak diinginkan.
-          Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de coco) yang akan dihasilkan.
-          Penambahan gula pasir putih adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya.
-          Penambahan ZA pada pembuatan nata de coco ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
-          Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa.
SOYA
IV.         Pembahasan
Percobaan yang dilakukan adalah tentang nata de soya (pembuatan nata de soya). Bahan pokok pada percobaan ini adalah limbah tahu. Bahan-bahan lain yang digunakan pada percobaan ini adalah bakteri Acetobacter xylinum, asam asetat, gula pasir dan ZA (urea).
Air limbah tahu masih mengandung bahan-bahan organik seperti protein, lemak dan karbohidrat yang mudah busuk sehingga menimbulkan bau yang kurang sedap (Shurtleft dan Aoyogi, 1975). Jika ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbohidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran. Tetapi jika dimanfaatkan akan menguntungkan pengrajin tahu atau masyarakat yang berminat mengolahnya., serta adanya faktor pendukung pertumbuhan (growth promoting factor) merupakan senyawa yang mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri penghasil nata (Acetobacter xylinum) (Lapus et al., 1967). Adanya gula sukrosa dalam air kelapa akan dimanfaatkan oleh Acetobacter xylinum sebagai sumber energi, maupun sumber karbon untuk membentuk senyawa metabolit diantaranya adalah selulosa yang membentuk Nata de soya. Senyawa peningkat pertumbuhan mikroba (growth promoting factor) akan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sedangkan adanya mineral dalam substrat akan membantu meningkatkan aktifitas enzim kinase dalam metabolisme di dalam sel Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa.
Pada percobaan ini, limbah tahu disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kain berbahan silk. Penyaringan ini bertujuan untuk membebaskan limbah tahu dari kotoran - kotoran yang tidak diinginkan. Limbah tahu ini kemudian dididihkan lalu ditambahkan gula pasir dan ZA (urea), limbah tahu tersebut diaduk dan dibiarkan tetap mendidih ± 10 menit. Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de soya) yang akan dihasilkan. Penambahan gula pasir putih disini adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya. Glukosa akan masuk ke dalam sel dan digunakan bagi penyediaan energi yang dibutuhkan dalam perkembangbiakannya. Fruktosa yang ada akan disintesis menjadi selulosa. Jumlah gula yang ditambahkan harus diperhatikan sehingga mencukupi untuk metabolisme dan pembentukan pelikel nata. Penambahan ZA pada pembuatan nata de soya ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
Selanjutnya campuran limbah tahu yang sudah mendidih, dimasukkan kedalam wadah yang sudah disterilkan dengan cara direndam didalam air panas. Alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan bersih (steril). Apabila alat-alat yang digunakan tidak steril maka akan menghambat pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum pada media limbah tahu dan akan menyebabkan adanya jamur pada media limbah tahu tersebut. Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan mendinginkan campuran limbah tahu tersebut pada suhu kamar (dibiarkan dingin dengan sendiri). Pada pendinginan ini, disekitar wadah dinyalakan lilin pada tiap-tiap sudut. Hal ini bertujuan untuk inkubasi media limbah tahu dari bakteri-bakteri lain yang mungkin akan masuk ke dalam media. Setelah media limbah tahu tersebut sudah benar-benar dingin, lalu ditambahkan dengan asam asetat sedikit demi sedikit sambil di ukur pH campuran air kelapa tersebut. Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman limbah tahu. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glacial (99,8%). Asam asetat dengan konsentrasi rendah dapat digunakan, namun untuk mencapai tingkat keasaman yang diinginkan yaitu pH 4,5 – 5,5 dibutuhkan dalam jumlah banyak.
Langkah selanjutnya pada percobaan ini adalah dengan inokulasi atau menambahkan starter yang sudah berumur ±3hari ke dalam wadah yang berisi campuran limbah tahu yang telah dingin. Bakteri yang dipindahkan ke media baru tersebut tidak langsung tumbuh melainkan beradaptasi terlebih dahulu. Fase pertumbuhan adaptasi dicapai pada 0-24 jam sejak inokulasi. Fase pertumbuhan awal dimulai dengan pembelahan sel dengan kecepatan rendah. Fase ini berlangsung beberapa jam saja. Fase eksponensial dicapai antara 1-5 hari. Pada fase ini bakteri mengeluarkan enzim ektraseluler polimerase sebanyak-banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa (matrik nata). Fase ini sangat menentukan kecepatan suatu strain Acetobacter xylinum dalam membentuk nata. Setelah inokulasi, maka nampan atau wadah tersebut ditutup rapat dengan menggunakan koran yang sudah disterilkan lalu di ikat dengan karet. Kemudian nampan tersebut di letakkan ditempat yang aman, supaya tidak digeser dan digoyang.
Nata yang dihasilkan tentunya bisa beragam kualitasnya. Kualitas yang baik akan terpenuhi apabila limbah tahu yang digunakan memenuhi standar kualitas bahan nata, dan prosesnya dikendalikan dengan cara yang benar berdasarkan pada faktor - faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas yang digunakan. Apabila rasio antara karbon dan nitrogen diatur secara optimal, dan prosesnya akan terkontrol dengan baik, maka semua cairan akan berubah menjadi nata tanpa meninggalkan residu sedikitpun.
Pada percobaan nata de soya yang pertama  dan kedua menunjukkan hasil yang gagal. Pada campuran limbah tahu terdapat jamur yang berwarna orange muda. Kegagalan tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu alat - alat yang digunakan untuk pembuatan nata tersebut tidak bersih (tidak steril), pada saat praktikum, praktikan banyak berbincang - bincang sehingga menyebabkan bakteri yang keluar dari mulut masuk ke dalam campuran limbah tahu tersebut. Kegagalan tersebut mungkin juga dipengaruhi oleh tingkat keasaman campuran, jika medianya terlalu asam atau kurang asam, maka nata de soya tidak akan terbentuk.


V.          Kesimpulan
Setelah dilakukan percobaan tentang pembuatan nata de coco ini, dapat disimpulkan :
-          Penyaringan limbah tahu bertujuan untuk membebaskan limbah tahu dari kotoran-kotoran yang tidak diinginkan.
-          Pemanasan dilakukan hingga mendidih bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang mungkin akan mencemari produk (nata de soya) yang akan dihasilkan.
-          Penambahan gula pasir putih adalah sebagai sumber karbon untuk proses metabolismenya.
-          Penambahan ZA pada pembuatan nata de coco ini adalah sebagai sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
-          Asam asetat atau asam cuka digunakan untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa.
-          Penambahan soda kue bertujuan untuk membuat nata menjadi kenyal.

Air limbah tahu sebanyak 1 liter dan gula sebanyak 100 gram dipanaskan hingga gula larut dan kemudian di tambahkan dengan urea sebanyak 5 gram, ambilah kotoran-kotoran atau gelembung-gelembungnya. Setelah dipanaskan hingga mendidih selama 30 menit air limbah tahu dibiarkan dingin dan kemudian di tambahkan dengan asam asetat. Air limbah tahu yang telah siap di pindahkan ke dalam baki / kotak plastik steril, lalu ditambahkan stater kedalamnya secara pelan-pelan. Kemudian tutup dengan Koran yang sudah diopen hingga tidak ada lagi udara yang dapat masuk atau keluar, lalu didiamkan selama 2 minggu.
Simpan baki / kotak plastik  ditempat yang baik dengan sirkulasi udara yang bagus, suhu ruang berkisar 28 - 30 derajat Celsius. Setelah 1 – 2 minggu, air limbah tahu yang semula cair sekarang sudah menjadi padat (nata de soya) berupa lembaran. Setelah pemeraman selesai, nata dipanen, dicuci, dihilangkan asamnya dengan perebusan atau perendaman dalam air selama tiga kali (air  diganti tiap hari).
Nata kemudian dipotong-potong dan direbus kembali, ditiriskan. Perebusan selanjutnya dalam larutan gula 40% selama 30-45 menit. Dibiarkan semalam dalam larutan gula. Selanjutnya nata siap dikonsumsi.

DODOL
Dodol wortel merupakan upaya baru dalam proses pembaruan pangan. Pembuatan dodol wortel sama halnya dengan pembuatan dodol biasa dengan menggunakan penambahan tepung ketan, santan, gula dan lain –lain serta penambahan wortel. Dalam proses pengelolaan pembuatan dodol wortel dan dodol biasa tidak memiliki perbedaaan, dimana proses penting dalam pengelolaan dodol adalah karamelisasi dan gelatinisasi. Karemilisasi mengakibatkan dodol berwarna coklat hal ini di akibatkan karena terpecahnya molekul sukrosa menjadi fruktosa ( kehilangan molekul air ) dan glukosa akibatnya lama – kelamaan akan lebih kaku dan kecoklatan. Proses glatinisasi membuat tekstur dodol menjadi liat dan kenyal karena terjadinya peningkatan visiksikonitas di sebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum di panaskan, kini sudah berada dalam butir – butir pati dan tidak dapat bergerak bebas lagi, sehingga terbentuklah dodol yang liat dan kenyal. 
Untuk dodol biasa dan dodol wortel aromanya  sama karena aroma wortel berasal dari senyawa terpenoid carotol yang hanya tahan pada suhu 140oC sementara suhu pemasakan dodol mencapai suhu 173oC – 180oC sehingga aroma wortel tidak ada lagi 


Walau demikian tetap ada perbedaan antara dodol wortel dan dodol biasa antara lain sebagai berikut :
1.        tekstur                                                                                                        
tekstur dodol biasa lebih liat dan lebih halus karena bahan pokoknya tepung ketan yang  strukturnya lebih halus. Selain itu karena tepung ketan lebih banyak mengandung amilopektim sehingga strukturnya lebih liat dan kenyal sedangkan dodol wortel perbandingan wortel dan ketan lebih banyak wortel yang kadar amilopektinya termasuk kecil, sehingga tekstur dodol wortel lebih lembut, kurang liat dan cendrung lebih kasar karena terdapat serat – serat dari wortel
2.        serat fiber                                                                                                   
dodol wortel dengan dodol biasa perbedaannya yaitu dodol wortel memiliki serat yang berasal dari dinding sel umbi wortel yang di tambahkan sedangkan dodol biasa tidak terdapat serat kasar.
3.        vitamin A
       dodol biasa tidak memiliki komposisi gizi mengandung vitamin A sedangkan dodol wortel terdapat vitamin A yang berasal dari beta karoten dan beta karoten tahan terhadap suhu panas 181oC                                    

Dodol wortel menggandung minyak yang berasal  dari santan maka tidak akan lengket namun dapat menimbulkan ketengian terjadi karena oksidasi lemak tak jenuh mmenjadi senyawa – senyawa aldehid dan asam lemak yang memiliki rantai karbon lebih pendek. Dodol wortel menggandung karbohidrat sehingga baik untuk pertumbuhan mikroba.
Pada lemak dan minyak terkandung enzim lifase, enzim lifase menghidrolisis lemak, memecahnya menjadi gliserol dan asam lemak



XI.               Kesimpulan
·         Dodol wortel merupakan upaya baru dalam proses pembaruan pangan
·         Dalam proses pengelolaan pembuatan dodol wortel dan dodol biasa tidak memiliki perbedaaan, dimana proses penting dalam pengelolaan dodol adalah karamelisasi dan gelatinisasi
·         Karemilisasi mengakibatkan dodol berwarna coklat hal ini di akibatkan karena terpecahnya molekul sukrosa menjadi fruktosa ( kehilangan molekul air ) dan glukosa akibatnya lama – kelamaan akan lebih kaku dan kecoklatan.
·         Proses glatinisasi membuat tekstur dodol menjadi liat dan kenyal karena terjadinya peningkatan visisikonitas di sebabkan air yang dulunya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum di panaskan
·         Dodol wortel menggandung minyak yang berasal  dari santan maka tidak akan lengket namun dapat menimbulkan ketengian terjadi karena oksidasi lemak tak jenuh mmenjadi senyawa – senyawa aldehid dan asam lemak yang memiliki rantai karbon lebih pendek.
VI.         PROSEDUR PERCOBAAN
·           Dodol wortel dengan menggunakan ekstrak wortel
1.    Menyiapkan 0,5 kg wortel yang telah dicuci.
2.    Mengambil ekstrak wortel dengan menggunakan alat juicer.
3.      Campur santan, gula dan garam dimasak sampai kental dalam wajan dan masukkan ekstrak wortel yang sudah dicampur tepung ketan dan vanili.
4.      Terus diaduk sampai kalis dan bolak-balik.
5.      Kemudian diangkat dan ditaruh di tempat cetakan dan setelah dingin dipotong-potong kemudian dikemas.
6.      Dodol siap disajikan.

·            Dodol wortel dengan menggunakan ekstrak dan ampas
1.      Sebanyak 0,5 kg wortel dicuci sampai bersih.
2.      Wortel diremdam air panas selama 15 menit, kemudian wortel diparut.
3.      Campur santan, gula dan garam dimasak sampai kental dalam wajan dan masukkan parutan wortel yang sudah dicampur tepung ketan dan vanili
4.      Terus diaduk sampai kalis dan bolak-balik.
5.      Kemudian diangkat dan ditaruh di tempat cetakan dan setelah dingin dipotong-potong kemudian dikemas.
6.      Dodol siap disajikan.

TAPE

 C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2+ 2ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai berikut:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) →Alkohol (etanol) +K arbon dioksida +Energi (ATP)
            Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang terlibat,tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awalrespirasi aerobik pada sebagian besar organism. Jalur terakhir akan bervariasi tergantung produk akhir yang dihasilkan.  Tahap akhir dari fermentasi adalah konversi piruvat ke produk fermentasi akhir .  Tahap ini tidak menghasilkan energi tetapi sangat penting bagi sel anaerobik karena tahapini meregenerasi. nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+), yang diperlukan untuk glikolisis.Ia diperlukan untuk fungsi sel normal karena glikolisis merupakan satu-satunyasumber ATP dalam kondisi anaerobik .
IX.  PEMBAHASAN
Setelah melakukan penelitian selama 3 hari tentang pembuatan tape ketan, kami dapat membahas bagaimana tape ketan dibuat, memaparkan faktor-faktor yang terlibat dalam pembuatan ataupun dalam proses fermentasi tape. Tape ketan ini merupakan suatau bioteknologi yang dikategorikan ke dalam bioteknologi tradisional /konvensional.
Hasil dari tape yang kami coba ternyata ketan tersebut menjadi terasa manis dan agak terasa bau alkohol,setelah kami meneliti dan membaca dari berbagai sumber ternyata pada tape ketan itu terjadi proses fermentasi yang menyebabkan ketan menjadi bau alkohol dan terasa manis.
Adapun reaksi yang terjadi dalam proses fermentasi tape yaitu :
2(C6H10O5)n + nH2O —-> n C12H22O11
Amilum/patiamilase matosa
C12H22O11 H2—-> 2(C6H10O5)
Maltosa maltase glukosa
C6H12O6 —-> 2C2H5OH + CO2
glukosa alcohol
Bahan baku dari pembuatan tape adalah beras ketan atau bisa digunakan juga umbi kayu (singkong).Tape ketan dibuat dengan proses fermentasi yang dibantu oleh ragi atau (bakteri saccharomyces cerivisiae) bakteri ini dapat merubah karbohidrat menjadi alkohol, dan karbon dioksida.
Dalam fermentasi tape ketan terlibat beberapa mikro organisme yang disebut dengan mikrobia perombak pati menjdi gula yang menjadikan tape pada awal fermentasi terasa manis.yang menyebabkan tape ketan berubah menjadi alkohol karena adanya bakteri actobakter aceti (mengubah alcohol menjadi asam asetat).
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan pembuatan tape ketan ini dapat berlangsung tidak sempurna salah satu penyebabnya adalah peralatan yang kurang higienis dan ragi yang sudah lama (sudah kadaluarsa).dan dapat disebabkan juga oleh pencucian beras atau singkong yang tidak bersih sehingga fermentasi tdak sempurna.pada penelitian ini pula kelompok kami belum sempurna dikarenakan nasi ketan yang kami buat masih belum matang.Tapi,tape tersebut masih bisa di konsumsi dan masih terasa manis.
Pembuatan tape ini berlangsung selama dua sampai tiga hari,dalam kurun tiga hari itu tape masih bisa masih bisa dimakan karena tape belum berubah menjadi alcohol,tapi jika tape sudah lebih dari tiga hari tape tidak bisa dimakan(dikonsumsi) karena sudah berubah menjadi alcohol selain itu juga tape tersebut sudah membusuk.
Factor yang sering menyebabkan gagalnya pembuatan tape adalah :
1.      Kurang lunaknya singkong dalam perebusan
2.      Suhu pada proses penyimpanan kurang optimum
3.      Tidak higienisnya pada proses pembuatan
4.      Tidak seimbangnya jumlah ragi dengan jumlah singkong
5.      Kegagalan dalam pembuatan tape biasanya dikarenakan enzim pada ragi  Saccharomyces cereviceae  tidak pecah apabila terdapat udara yang mengganggu proses pemecahan enzim tersebut.

Menurut Gandjar, (2003) Proses pembuatan Tape setelah melakukan penelitian selama tiga hari, tentang pemanfaatan bioteknologi khususnya yaitu pembuatan tapei mengunakan ragi,. Proses pembuatan tape singkong sebagai berikut:

1 Penyiapan Bahan Baku
            Seleksi singkong yang kualitasnya bagus, untuk singkong umur optimumnya adalah 10 bulan jika lebih dari 12 bulan akan banyak seratnya. Singkong yang digunakan untuk pembuatan tape harus singkong yang baru dipanen karena singkong yang telah disimpan memberikan kualitas yang tidak diharapkan.

2 Pemasakan dan Pendinginan
                        Pemasakan menentukan tekstur dan penampakan produk olahan tape yang akan dihasilkan. Pengukusan singkong hingga matang akan menghasilkan tekstur tapai yang lebih lembut dibandingkan dengan pengukusan singkong yang setengah matang akan menghasilkan tekstur tapei yang lebih keras.

            Pendinginan berfungsi untuk mengontrol kondisi proses. Pemasakan yang kurang akan merusak kehidupan organisme dari inokulum yang diberikan. Sementara, pendinginan yang terlalu lama akan menyebabkan kontaminasi. Pengukusan singkong dilakukan dalam waktu 0,5 jam untuk melunakkan singkong dan agar enzim mikrobdapat bekerja dengan baik.

3 Peragian


            Proses peragian bergantung dengan cara pencampuran singkong dengan ragi. Apabila pencampuran tidak baik akan menyebabkan fermentasi kurang sempurna dan menimbulkan kerusakan. Ragi yang ditambahkan biasanya kurang dari 1% atau 10 gram perkilogram singkong yang digunakan.

4 Fermentasi dan Penyimpana

            Fermentasi yang baik dilakukan pada suhu 28-30˚C dan membutuhkan waktu 45 jam. Fermentasi dilakukan di dalam keranjang yang dialasi daun pisang yang bersih, dikerudungi dan ditutupi dengan daun rapat-rapat. Fermentasi yang tertutup akan mencegah tejadinya kontaminasi.
            Suhu berpengaruh kepada kecepatan fermentasi, meskipun suhu yang lebih rendah dari 25˚C akan menghasilkan produk dengan kadar alcohol yang tinggi pada fermentasi 144 jam. Tapai dapat bertahan 2 – 3 hari bila di fermentasi pada suhu kamar. Apabila fermentasi dalam suhu kamar melebihi hasil yang didapatkan akan rusak. Bila dikemas dengan cangkir plastic dan disimpan dalam lemari es akan bertahan selama 2 bulan akan tetapi teksturnya akan rusak yaitu menjadi keras. 



X. KESIMPULAN
1.      Pembuatan tape termasuk dalam bioteknologi konvensional (tradisional) karena masih menggunakan cara-cara yang  terbatas.
2.      Pada proses pembuatan tape, jamur ragi akan memakan glukosa yang ada di dalam singkong sebagai makanan untuk pertumbuhannya, sehingga singkong akan menjadi lunak, jamur tersebut akan merubah glukosa  menjadi alkohol.
3.      Dalam pembuatan tape, ragi (Saccharomyces cereviceae) mengeluarkan enzim yang dapat memecah karbohidrat pada singkong menjadi gula yang lebih sederhana. Oleh karena itu, tape terasa manis apabila sudah matang walaupun tanpa diberi gula sebelumnya.
4.      Kegagalan dalam pembuatan tape biasanya dikarenakan enzim pada ragi  Saccharomyces cereviceae  tidak pecah apabila terdapat udara yang mengganggu proses pemecahan enzim tersebut.
SAOS
I.      
Untuk pembuatan saos papaya dan sambal papaya digunakan jenis papaya yang berbeda. Pepaya yang berwarna merah untuk saos dan papaya yang berwarna kuning untuk sambal. Ini bermaksud untuk membedakan warna antara saos dan sambal yang seharusnya memang berwarna lebih pekat untuk saos. Penggunaan cabai juga dibedakan untuk memberikan rasa pedas yang berbeda pada saos dan sambal. Untuk saos menggunakan cabai tanpa biji dan sambal menggunakan cabai dengan bijinya. Jenis papaya yang baik akan mempengaruhi hasil saos dan sambal yang diddapat. Maka harus menggunakan papaya yang bagus (tidak cacat) dan yang telah matang. Dan pada percobaan kami, tidak menggunakan pewarna buatan agar menghasilkan saos dan sambal yang alami.
Pepaya yang digunakan harus dihancurkan sehalus mungkin agar mendapatkan tekstur yang halus layaknya saos dan sambal yang terdapat di pasaran. Dilakukan penyaringan menggunakan kain juga berguna untuk memisahkan papaya dengan sari yang terkadung didalamnya sehingga papaya yang digunakan benar-benar bebas dari sari buah papaya. Bila pepaya tidak benar benar kering, maka dapat menyebabkan saos dan sambal yang dihasilkan berbau tengik dan berbau mentah.  Digunakan jeruk nipis yang berguna untuk menghilangkan aroma pepaya pada saos dan sambal. Proses ini dilakukan pada saat pemanasan pepaya terjadi. Dan untuk pemanasannya tidak dilakukan terlalu lama agar saos dan sambal yang dihasilkan tetap kental dan tidak kering.
Dalam pembuatannya, harus dilakukan dalam kondisi yang steril, mulai dari pengupasan buah, penghalusan, penyaringan, pemanasan, penambahan bumbu, hingga pengemasan kedalam botol. Hal ini bertujuan agar saos dan sambal yang dihasilkan tidak terkontaminasi oleh bakteri atau kotoran yang dapat menurunkan kualitas saos dan sambal.
Setelah saos dan sambal disimpan beberapa hari, akan terjadi peningkatan viskositas. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh adanya penurunan suhu dari suhu pemasakan hingga suhu penyimpanan. Molekul-molekul amilosa akan berikatan kembali satu sama lain dan berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggiran granula, sehingga membentuk konsistensi yang lebih padat dan kekentalannya meningkat. Air yang berada diluar granula akan mengalami gelatinisasi dan bila disimpan berhari-hari, air tersebut akan keluar dan menyebabkan menurunnya kekentalan bahan.


II.     Kesimpulan                :
1.      Proses pembuatan saos dan sambal pepaya : pemilihan bahan, penghalusan, penyaringan, pemanasan, penambahan bumbu, pengemasan
2.      Pepaya untuk saos menggunakan pepaya berwarna merah dan untuk sambal pepaya berwarna kuning
3.      Seluruh proses pembuatan saos dan sambal pepaya harus dilakukan secara steril
4.      Penyimpanan selama beberapa hari akan menyebabkan keluarnya air yang terkandung dalam saos dan sambal dan akan menurunkan kekentalan bahan.
CUKA APEL

Cuka apel merupakan salah satu produk olahan apel yang dihasilkan dengan jalan fermentasi. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanolasam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan asetonRagi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam biranggur dan minuman beralkohol lainnya. Respirasi anaerobik dalam otot mamalia selama kerja yang keras (yang tidak memiliki akseptor elektron eksternal), dapat dikategorikan sebagai bentuk fermentasi.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan. Persamaan reaksi kimianya:
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) → Alkohol (etanol) + Karbon dioksida +                                                                       Energi (ATP)
Fermentasi pada cuka apel dilakukan dengan 2 tahap yaitu, fermentasi alkohol dan fermentasi asam asetat (asetilasi). Pada fermentasi alkohol, beberapa mikroba mengalami peristiwa pembebasan energi karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat dan CO2 selanjutnya asam asetat diubah menjadi alkohol. Dalam fermentasi alkohol, satu molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP, jika dibandingkan dengan respirasi aerob, yang mampu menghasilkan 38 molekul ATP. Reaksinya:
1.         Gula (C6H12O6—> asam piruvat (glikolisis)
2.         Dekarboksilasi asam piruvat
Asam piruvat ——————————> asetaldehid + CO2.
                                                                piruvat dekarboksilase (CH3CHO)
3.         Asetaldehid oleh alkohol dehidrogenase diubah menjadi alcohol (etanol).
2 CH3CHO + 2 NADH2  —————————>   2 C2H5OH + 2 NAD.
           alkohol dehidrogenase + enzim
Ringkasan reaksi :
C6H12O6 ———> 2 C2H5OH + 2 CO2 + 2 NADH2 + Energi
Pada fermentasi asam asetat, berlangsung dalam keadaan aerob. Fermentasi ini dilakukan oleh bakteri asam cuka (Acetobacter aceti) dengan substrat etanol. Energi yang dihasilkan 5 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan oleh fermentasi alkohol secara anaerob. Jika diberikan oksigen yang cukup, bakteri-bakteri ini dapat memproduksi cuka dari bermacam-macam bahan makanan yang beralkohol. Bahan makanan yang biasa digunakan yaitu sari buah apel, anggur, biji-bijian fermentasi, malt, beras, atau bubur kentang. Reaksi:
                                                            aerob
C6H12O6 > 2 C2H5OH —————> 2 CH3COOH + H2O + 116 kal
          (glukosa)                              bakteri asam cuka             asam cuka

Pada percobaan kali ini kelompok kami mengamati peristiwa fermentasi yang digunakan untuk membuat cuka apel atau Apple CiderPemilihan buah apel untuk diolah menjadi cuka apel, lebih baik jenis apel yang berwarna hijau dan rasanya lebih asam. Hal ini agar rasa dan aroma khas buah apel lebih dominan sehingga tidak meninggalkan cita rasa buah apel aslinya. Ragi roti yang kita gunakan mengandung mikroorganisme agar proses fermentasi dapat terjadi. Mikroorganisme yang digunakan adalah  Saccharomyces Sp. Cuka apel ini dibuat dari sari buah apel yang ditambahkan dengan ragi roti. Sari buah apel disini dibuat dari buah apel yang diiris tipis-tipis yang kemudian diblender dan ditambahkan dengan aquadest sebanyak 1000 mL yang kemudian dipanaskan.
Buah apel yang digunakan dipercobaan ini tidak dikupas terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena pada kulit apel banyak sekali terdapat senyawa-senyawa yang penting dan bergizi seperti karoten, pektin dan lain-lain. Proses perebusan apel dilakukan hingga mendidih, proses ini dilakukan untuk mengambil sari atau kandungan yang terdapat dalam buah apel sampai aroma khas dari buah apel dapat dirasakan oleh indra penciuman. Larutan ini harus sering diaduk agar lebih banyak sari apel yang terlarut.
Setelah itu apel dipisahkan dari larutannya, larutan yang masih panas didinginkan terlebih dahulu. Pendinginan ini bertujuan agar proses fermentasi dapat berlangsung, karena apabila masih panas, bakteri pada ragi akan mati dan asam yang diinginkan tidak terbentuk. Setelah dingin, larutan disaring agar sisa-sisa apel yang tidak berubah menjadi larutan dapat diambil. Proses penyaringan menggunakan kain saring dan didapat sari apel yang kita inginkan.
Sari apel dimasukkan ke dalam botol dan diberi ragi. Bakteri yang terdapat di ragi yaitu Saccharomyces cereviseae. Botol harus ditutup rapat agar proses fermentasi tidak terkontaminasi udara bebas atau zat lain pada lingkungan sekitar, karena proses ini merupakan proses anaerob (tidak memerlukan oksigen) yang menghasilkan gas CO2. Hal inilah yang menyebabkan terbentuknya gelembung-gelembung gas kecil yang merupakan gas COsetelah penambahan ragi roti pada larutan sari apel ini.
Setelah proses fermentasi selama 2 minggu di bagian atas larutan tampak terbentuk gelembung-gelembung gas yang merupakan gas CO2 yang menunjukkan terjadinya proses fermentasi. Setelah itu kami menambahkan sampel cuka apel guna memancing agar cuka apel yang terbentuk lebih banyak. Penambahan cuka apel dilakukan hingga didapat hasil yang optimal.
Penyajian apel dalam bentuk cuka berkaitan dengan pengoptimalan zat yang terkandung dalam buah apel. Melalui proses fermentasi, kandungan nutrisinya bertambah kaya, terutama enzim dan asam amino. Dalam pembuatan cuka apel ini, alat-alat yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu menggunakan air, selanjutnya disterilkan dengan cara pasteurisasi. Hal ini dilakukan agar larutan tidak mengandung mikroorganisme lain yang dapat mengganggu jalannya proses fermentasi dan bila ada salah satu yang tidak steril, maka proses fermentasi ini tidak akan berhasil.
I.             KESIMPULAN
Kesimpulan dari percobaan yang telah dilakukan:
1.            Cuka apel adalah salah satu produk yang dihasilkan dari buah apel melalui proses fermentasi menggunakan Saccharomyses cerevisiae.
2.            Dalam proses pembuatan asam asetat dari apel ini melalui tahapan glukosa menjadi alkohol kemudian dikonversi menjadi asam asetat.
3.            Apel yang bagus untuk dibuat menjadi cuka apel adalah apel yang mengandung banyak kandungan glukosa atau yang mengandung banyak kandungan gula, misalnya apel Malang.
4.            Proses fermentasi pada percobaan ini harus terhindar dari lingkungan sekitar dan dengan suhu rendah/suhu kamar. Sehingga tidak akan mengganggu ataupun juga bisa membunuh bakteri pada ragi yang dapat menyebabkan proses fermentasi menjadi gagal.
5.            Fermentasi yang dilakukan termasuk dalam fermentasi anaerob karena setelah penambahan mikroba, cuka apel ditutup dengan rapat untuk mengkondisikan agar tidak ada oksigen.

TAPE BERAS MERAh
Pada percobaan pembuatan tape dengan menggunakan bahan baku beras merah. Untuk pembuatan tape beras merah diperlukan ragi sebagai bibit jamur.  Dalam pembuatan tape beras merah ini harus dimasak dahulu agar tape beras merah yang dihasilkan lembut. Kemudian beras merah juga harus dikukus dahulu sebelum dibubuhi ragi agar ragi dengan mudah meresap pada beras merah. Ragi (bibit jamur) ini akan memakan glukosa yang ada di dalam beras merah sebagai makanan untuk pertumbuhannya, sehingga beras merah akan menjadi lunak, jamur tersebut akan merubah glukosa  menjadi alkohol. Dalam pembuatan tape, ragi (Saccharomyces cereviceae) mengeluarkan enzim yang dapat memecah karbohidrat pada beras merah menjadi gula yang lebih sederhana. Oleh karena itu, tape terasa manis apabila sudah matang walaupun tanpa diberi gula sebelumnya. Banyaknya ragi yang digunakan disesuaikan dengan jumlah beras merah . Jumlah ragi yang terlalu banyak akan mempercepat proses fermentasi dan menyebabkan tape yang terbentuk lembek. Sedangkan jumlah ragi yang terlalu sedikit dapat menyebabkan tape yang terbentuk tidak manis dan terasa keras. Dan inkubasi campuran dilakukan dengan menutup beras merah yang telah ditaburi ragi dengan menggunakan daun pisang dan diinkubasi pada suhu 25-30 °C selama 2-3 hari sehingga menghasilkan alkohol dan teksturnya lebih lembut.
Selain itu juga, dalam proses pembuatan tape ini ada hal-hal yang harus diperhatikan supaya proses fermentasi tersebut berlangsung secara sempurna. Selama proses fermentasi tidak memerlukan oksigen. Oleh karena itulah, proses fermentasi pada beras merah yang tertutup rapat lebih cepat. Lamanya proses fermentasi juga mempengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan.
Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak . Alat-alat yang berminyak   jika dipakai untuk mengolah bahan tape bisa menyebabkan kegagalan fermentasiAir yang digunakan juga harus bersih.


VII.      KESIMPULAN
·         Proses pembuatan tape beras merah melibatkan proses fermentasi yang dilakukan oleh jamur  Saccharomyces cerivisiae .
·         Pada proses pembuatan tape beras merah, jamur ragi akan memakan glukosa yang ada di dalam beras merah sebagai makanan untuk pertumbuhannya, sehingga singkong akan menjadi lunak, jamur tersebut akan merubah glukosa  menjadi alkohol.
·         Dalam pembuatan tape beras merah, ragi (Saccharomyces cereviceae) mengeluarkan enzim yang dapat memecah karbohidrat pada singkong menjadi gula yang lebih sederhana. Oleh karena itu, tape terasa manis apabila sudah matang walaupun tanpa diberi gula sebelumnya.
·         Kegagalan dalam pembuatan tape biasanya dikarenakan enzim pada ragi  Saccharomyces cereviceae  tidak pecah apabila terdapat udara yang mengganggu proses pemecahan enzim tersebut.
·         Agar pembuatan tape berhasil dengan baik alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan harus bersih, terutama dari lemak atau minyak. 

1.      TEMPE
Kedelai kupas basah
a.       Rendam kedelai dalam air mendidih selama 1 malam
b.      Cuci dan buang bagian kedelai yang mengambang, kemudian remas-remas sehingga kulitnya terlepas dan keping bijinya terbelah. Sementara itu masak air hingga mendidih.
c.       Kukus kedelai yang sudah bersih dalam dandang yang airnya sudah mendidih selama 30 menit
d.      Keluarkan isi kedelai dari dalam dandang, tiriskan dalam kalo, lalu taburkan dalam tampah sehingga dingin
e.       Selama menunggu kedelai dingin, siapkan kantong plastik dan daun pisang sebagai pembungkus. Lakukan penusukan pada kantong plastik dengan jarak 3 cm secara vertikal dan horizontal.
f.       Campurkan inokulum (ragi tempe) dengan kedelai matang yang sudah dingin secara merata. Usahakan proses pencampuran tidak dilakukan dengan tangan.
g.      Masukan bakal tempe kedalam masing-masing pembungkus. Untuk kantong plastic isi kira-kira setengahnya, lalu ujungnya direkatkan dengan penutup plastic (sealer). Untuk daun pisang lipat sedemikian rupa sehingga berupa bungkusan.
h.      Fermentasikan bakal tempe tersebut kira-kira 36-48 jam pada rak-rak yang kemudian ditutup dengan karung goni atau langsung masukan dalam laci-laci.
2.      Kedelai kupas kering
a.       Kupas kedelai yang masih kering (kadar air 12-13%) dengan alat pengupas kulit yang sekaligus kulit arinya bisa terbuang
b.      Cuci kedelai untuk membersihkan kotoran yang masih terdapat di kedelai
c.       Rendam kedelai selama 12 jam dengan pH akhir 3-5 (bisa ditambahkan asam cuka)
d.      Lakukan pencucian kembali yang diikuti dengan pengupasan kulit ari pada kedelai yang belum terkupas dan pencucian dilakukan sampai air cucian bening
e.       Kedelai direbus sampai matang (2 jam)
f.       Kedelai yang sudah direbus diangkat dan diriskan sambil dikeringanginkan sampai benar-benar tiris. Pendinginan kedelai dilakukan dengan cara dihamparkan diatas tampah besar
g.      Setelah kedelai benar-benar tiris, inokulasikan dengan pemberian ragi tempe, untuk setiap 1 kg kedelai memerlukan 1 sendok teh ragi tempe. Ragi diratakan pada kedelai sampai benar-benar rata.
h.      Kedelai yang sudah tercampur ragi selanjutnya dikemas dalam kantong plastik atau daun yang telah ditusuk-tusuk dengan lidi. Diameter 1 mm dan jarak antar lubang 2 x 2 cm
i.        Setelah selesai dikemas dilanjutkan dengan fermentasi (pemeraman) pada suhu kamar Selama 36-48 jam
VI. Diagram Alir

VII. Hasil Pengamata

No
Parameter
Perlakuan Jenis Kemasan
Plastik
Daun pisang
1
Warna
Putih
2
Bau
Khas Tempe
3
Tekstur
Keras
4
Rasa
Rasa Kedelai
5
Kenampakan
Tidak Buyar

VIII. Persamaan Reaksi
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2+ 2ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)
Dijabarkan sebagai berikut:
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) →Alkohol (etanol) +K arbon dioksida +Energi (ATP)
IX. Pembahasan
Pada praktikum pembuatan tempe, sebelumnya  kedelai  direndam kemudian langsung dikupas kulit arinya. Pengupasan kulit ari perlu dilakukan karena dalam kuit ari tersebut mengandung senyawa anti jamur, Bentuk senyawa ini tidak disebutkan tetapu bersifta larut dalam air perendaman dan pemasakan, sehingga bila kedelai dikupas sebelun direbus maka kapang akan menghasilkan miselia yang baik dan bau yang disukai. Pada pengupasan kulit ari diusahakan keping biji kedelai terpisah karena penetrasi miselium kapang banyak banyak terjadi pada permukaan yang datar daripada lengkung.
Selanjutnya kedelai yang telah dicuci bersih dilakukan pengukusan  30 menit setelah air mendidih, yaitu sampai sampai ¾ matang. Pada pengukusan kedelai jangan telalu matang supaya tidak mudah busuk pada proses fermentasi. Dan jangan terlalu mentah biar tidak keras dan cepat ditumbuhi jamur. Kemudian kedelai ditiriskan dan diangin-anginkan biar kadar airnya turun karena dalam keadaan basah jamur tidak dapat menempel pada kedelai, akhirya kedelai tidak ditumbuhi miselia pada permukaan kedelai. Peniriasan dilakuakn agar kelebihan air dapat dihindari, jika air bebas yang tersedia terlalu banyak akan mendorong pertumbuhan bakteri namun bila terlalu sedikit dapat menyebabkan dihirasi pada permukaan kedelai sehingga menghambat pertumbuhan kapang. Sedangkan pendinginan dimaksudkan agar suhu kedelai turun sesuai suhu kamar karena bila suhu kedelai terlalu teinggi saat inokulasi maka pertumbuhan kapang akan terganggu. Setelah dingin dilakukan inokulasi yaitu pemberian jamur tempe sebanyak 2 gram/2 kg kedelai kering, jenis jamur tempe yang dipakai yaitu Rhizopus Oligosporus sehingga membentuk padatan kompak yang berwarna putih.Dalam proses inokulasi diperlukan tingkat kebersihan yang tinggi, karena pada tahp ini rentan sekali terjadi kontaminasi. Setelah merata kemudian dikemas pada kemasan plastic . Sebelumnya plastic yang digunakan untuk mengemas di beri lubang dengan ditusuk-tusuk menggunakan  jarum  jarak 3 cm secara vertiksl dan horizontal. Tujuannya agar ada udara yang masuk ke dalam selama proses fermentasi berlangsung, karena berdasarkan kebutuhan oksigenya fermentasi tempe termasuk tipe aerob yaitu fermentasi yang pada prosesnnya memerlukan oksigen, semua organism untuk hidupnya memerlukan sumber energy yang diperoleh dari hasil metebolisme bahan pangan dimana organism itu berada.Mikroorganisme adalah organism yang memerlikan energy tersebut. Bahan energy yang paling banyak digunakan mikroorganisme untuk tumbuh adalah glukosa dengan adanya oksigen maka organisme dapat menerima glukosa menghasikan karbondioksida dan sejumlah besar energy.  Syarat kemasan tempe anatara lain: dapat memberian cukup oksigen yang dibutuhkan kapang, dan dapat memungkinkan pengeluaran uap air, sehingga air tidak menempal pada kedelai yang dapat mendorong pertumbuhan bakteri kontaminan.
Kedelai yang telah di kemas langsung di fermentasi selama 2 hari, disimpan pada suhu kamar. Fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe.  pada tahap fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak, protein dan senyawa- senyawalain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga mudah dimanfaatkan tubuh. Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus oligosporus (Karmini 1996, dalam Yaniex 2009). . Fermentasi dipengaruhi oleh suhu dan konsentari laru, semakin tinggi suhu  fermentasi semakin cepat pertumbuhan kapang namun apabila suhu fermentasi mencapai lebid dari 40 C akan menghambat pertumbuhan kapang.
      Faktor keberhasilan fermentasi sangat ditentukan oleh jenis bahan pangan (subsrat). Mikroba membentuk energy yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan zat-zat gizi lainya yang ada dalam bahan pangan (substrat). Demikian pula dengan macam mikrobanya, yang perlu dimiliki mikroba adalah harus mampu tumbuh pada substrat dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan mikroba harus mampu mengeluarkan enzim-enzim penting yang dapat melakukan perubahan yang dikehendaki secara kimiawi.
Jamur yang tumbuh pada biji kedelai tersebut menghasilkan enzim-enzim  yang mampu merombak senyawa organic kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga senyawa tersebut dapat dipergunakan oleh tubuh. Perubahan yang terjadi selama fermentasi yaitu fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikrobia penyebab fermentasi pada substrat organic yang sesuai, terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat pangan, sebagai akibat pemecahan kandungan-kandungan pangan tersebut. Hasil-hasil fermentasi tersebut terutama tergantung pada jenis bahan pangan (substrat), macam mikrobia dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme tersebut. (winarno 1980, dalam Deliani 2008). Dalam proses fermentasi dapat menyebabkan perubahan kimia protein karena adanya enzim proteolitik, menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam  amino. Sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5%, degradasi protein ini juga menyebabkan peningkatan PH. NIlai PH tempe yang baik berkisar antara  6,3-6,5 (Nurhidayat dkk, 2006, dalam Deliani 2008). Kedelai yang telah terfermentasi menjadi tempe akan mudah dicerna karena banyak bahan yang mudah larut. Bau langunya juga hilang.
Aktivitas protease terdeteksi setelah fermentasi 12 jam ketika pertumbuhan hifa kapang masih relatif sedikit. Hanya 5% dari hidrolisis protein yang digunakan sebagai sumber karbon dan energy . Sisanya terakumulasi dalam bentuk peptida dan asam amino. Asam amino mengalami perubahan dari 1,02 menjadi 50,95 setelah fermentasi 48jam (Nurhidayat dkk, 2006 dalam Deliani 2008). Proses perendaman dan pemasakan juga mempengaruhi hilangnya protein, selama perendaman protein turun sebanyak 1,4%. Selama fermentasi protein kasar hanya sdikit yang berubah tetepi kelarutannya meningkat menjadi kira-kira 50% (jones 1975 dalam) .Suhu meningkat selama fermentasi dan akan akan menurun jika pertumbuhan jamur terhenti. PH meningkat, disebabkan oleh penurunan protein. Fermentasi  juga meningkatkan padatan terlarut, peningkatan total solid ternyata dapat meningkatkan daya cerna tempe dibandingkan kedelai rebus. Selama fermentasi terjadi peningkatan PH secara bertahap 5,0-7,5 disebabkan terbentuknya NH3 pada tahap fermentasi (Veen dan Schaefer 1950, dalam Deliani 2008). Pada proses fermentasi tempe juga terjadi perubahan kimia lemak, kapang akan menguraikan sebagian besar lemak dalam kedelai selama fermentasi. Pembebasan asam lemak ditandai dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali sebelum fermentasi. Lemak dalam tempe tidak mengandung kolesterol, lemak dalam tempe juga tahan terhadap ketengikan karena adanya antioksidan alami yang dihasilakn oleh kapang. Adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein , lemak dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah  dicerna didalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai.
Perubahan  kimia  yang  terjadi  pada  proses  pembuatan tempe  adalah  pada  saat  inkubasi.  Pada  saat  itu  terjadilah reaksi  fermentasi.  Proses  fermentasi  yang  dilakukan  oleh jamur  Rhizopus  sp  menghasilkan  energi.  Energi  tersebut sebagian ada yang dilepaskan oleh jamur Rhizopus sp sebagai energi  panas.  Energi  panas  itulah  yang  menyebabkan perubahan suhu selama proses inkubasi tempe. Selain  terjadi perubahan suhu, selama proses  inkubasi tempe  juga  terjadi  perubahan  warna,  dan  munculnya  titik-titik  air  yang  dapat  diamati  pada  permukaan  dalam  plastik pembungkus tempe. Pada  awal  pengamatan,  kedelai  pada  tempe  seperti berselimut  kapas  yang  putih.  Tetapi  dengan  bertambahnya masa  inkubasi, mulai muncul warna hitam pada permukaan tempe.  Perubahan  warna  ini  menunjukkan  adanya  reaksi kimia pada proses inkubasi. Jamur  Rhizopus  sp  tergolong  makhluk  hidup.  Oleh karena  itu  ia  juga melakukan respirasi. Respirasi merupakan reaksi  kimia  atau  perubahan  kimia.  Salah  satu  zat  yang dilepaskan dari peristiwa respirasi adalah gas karbondioksida dan  uap  air.  Uap  air  itulah  yang menyebabkan  permukaan dalam plastik pembungkus tempe basah oleh titik-titik air.
X. Kesimpulan
Setelah melakukan praktikun dapat disimpulkan bahwa pada proses pembuatan tempe dalam proses inokulasi diperlukan tingkat kebersihan yang tinggi, karena pada tahap ini rentan sekali terjadi kontaminasi. Faktor keberhasilan fermentasi sangat ditentukan oleh jenis bahan pangan (subsrat). Mikroba membentuk energy yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan zat-zat gizi lainya yang ada dalam bahan pangan (substrat). Demikian pula dengan macam mikrobanya, yang perlu dimiliki mikroba adalah harus mampu tumbuh pada substrat dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya, dan mikroba harus mampu mengeluarkan enzim-enzim penting yang dapat melakukan perubahan yang dikehendaki secara kimiawi.

VCO
Pada percobaan kali ini kami melakukan pembuatan VCO dengan cara pemanasan bertingkat. Prinsip yang digunakan sama, yaitu pemanasan dengan api. Perbedaannya hanya terletak pada suhu yang digunakan. Apabila suhu yang digunakan dengan cara tradisional yaitu 100-110° C, maka suhu yang digunakan pada pemanasan bertingkat berkisar 60-75° C.Dengan pemanasan bertingkat ini mencegah rusaknya  protein, lemak, dan antioksidan yang akan rusak pada suhu sekitar 80°C. Dengan hilangnya zat-zat penting dalam VCO, di samping khasiatnya menurun juga daya simpannya tidak bisa bertahan lama. Berpatokan pada hal tersebut, maka pemasakan santan tidak boleh lebih dari suhu 80°C.
Sebelum proses pemanasan santan kelapa diberi enzim bromelin (perasan sari nanas), penambahan enzim ini digunakan untuk mengurangi bau kelapa pada vco yang akan terbentuk
Untuk menjaga agar suhu santan bisa konstan selama pemanasan, perlu dilakukan kontrol terhadap besar-kecilnya api dan lama pemanasan. Pada suhu 80°C, santan tidak sampai mendidih, tetapi air yang masih terkandung di dalam santan sedikit demi sedikit akan menguap. Setelah beberapa jam santan akan terpisah menjadi VCO yang berada di bagian atas dan blondo di bagian bawah. VCO yang terpisah kemudian diambil sedikit demi sedikit menggunakan sendok kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan kotoran-kotoran yang terbawa di VCO. 
VCO yang dihasilkan dengan cara pemanasan bertingkat akan memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan cara tradisional. Warnanya jauh lebih bening, seperti kristal. Kandungan asam lemaknya pun tidak banyak yang berubah karena proses pemanasan. Di samping itu, kandungan antioksidannya pun masih lengkap dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian, khasiat VCO akan lebih tinggi dan daya simpannya akan lebih lama, berkisar 10-12 tahun, tergantung dari cara pengemasan dan penyimpanan.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, bukan berarti pembuatan VCO dengan pemanasan bertingkat tanpa cacat. Cara ini dirasa kurang efisien, di samping juga kurang aplikatif di tingkat petani. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, sebagai berikut. 1) Membutuhkan waktu yang lama, berkisar 7-8 jam. Hal ini dikarenakan harus menjaga suhu santan agar tetap konstan. 2) Harus ditunggui sehingga membutuhkan luangan waktu yang cukup lama. Selama proses pemanasan, hams ada tenaga kerja yang bertugas mengukur suhu santan dan mematikan serta menghidupkan kompor. 3) Membutuhkan biaya tambahan, berupa bahan bakar minyak. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh oleh petani menjadi berkurang. 4) Membutuhkan termometer untuk mengukur suhu. Sementara kemungkinan petani masih merasa kesulitan dan kerepotan dalam penggunan termometer. 5) Karena masih memakai proses pemanasan (walaupun dengan suhu rendah), tetap saja ada kandungan asam lemak yang berkurang. Dengan demikian, khasiatnya sebagai obat bisa berkurang.
Dalam pembuatan VCO, 2 butir kelapa dikupas dan diambil daging buahnya. Buah ini kemudian diambil daging buahnya dan diparut sehingga menghasilkan kelapa parutan sebesar 0,5 kg. parutan kelapa tersebut dicampur dengan air sebesar  10 % bobotnya dan diperas sehingga didapatkan santan kental dengan bobot kurang lebih 400 ml. Santan kemudian dipanaskan selama 2-3 jam sehingga menghasilkan minyak VCO sebanyak 20 ml atau sebesar 0,02 kg.
Palungkun (1992) menyatakan bahwa cara pengolahan minyak dengan proses basah dapat menghasilkan 60-70% minyak yang terkandung dalam daging buahh kelapa. Pada pengolahan VCO ini hanya dihasilkan minyak sebesar 4 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya persentase pengolahan minyak antara lain metode yang digunakan masih konvensional, sehingga santan yang dihasilkan dari parutan kelapa tidak maksimal. Selain itu, kurangnya volume air yang ditambahkan mengakibatkan masih banyaknya kandungan minyak yang terdapat di dalam parutan.

IX. Kesimpulan
      Kelapa dapat diolah menjadi beberapa produk seperti minyak kelapa dan VCO. Saat pengolahan kelapa perlu diperhatikan beberapa hal seperti kematangan kelapa, volume air yang diberikan, dan ketepatan teknologi. Pada praktikum ini dari 2 butir kelapa dengan berat daging 0,5 kg hanya dapat menghasilkan 0,02 kg minyak kelapa murni (VCO). Jumlah VCO yang dihasilkan berbeda jauh dibandingkan dengan literatur yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya persentase pengolahan minyak antara lain metode yang digunakan masih konvensional, sehingga santan yang dihasilkan dari parutan kelapa tidak maksimal. Selain itu, kurangnya volume air yang ditambahkan mengakibatkan masih banyaknya kandungan minyak yang terdapat di dalam parutan